JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena menyatakan, uji klinis fase II vaksin Nusantara tidak memiliki urusan dengan nyawa manusia Indonesia secara keseluruhan.
Ia menegaskan, uji klinis fase II vaksin Nusantara hanya diikuti oleh relawan yang sudah bersedia menjadi objek dalam uji klinis vaksin tersebut.
"Uji klinik ini tidak ada urusan nyawa manusia Indonesia seluruhnya, urusannya sama para relawan yang sudah taruh badannya untuk mau ikut uji klinis, relawannya saja mau diuji klinis dengan sekian risikonya," kata Melki dalam acara diskusi MNC Trijaya, Sabtu (17/4/2021).
Baca juga: Soal Vaksin Nusantara, Wakil Ketua Komisi IX Tuding BPOM Berpolitik dan Bohongi Publik
Melki menuturkan, para relawan yang mengikuti uji klinis fase II vaksin Nusantara pun telah diberi penjelasan mengenai vaksin tersebut dan tidak mengalami paksaan.
Oleh karena itu, Melki mengaku heran apabila Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempersoalkan uji klinis tersebut.
Menurut politikus Partai Golkar itu, BPOM baru boleh mempersoalkan jika vaksin Nusantara digunakan untuk masyarakat umum melalui adnaya emergency use authorization (EUA).
"Jadi maksud saya Badan POM aneh karena untuk diuji klinis tahap II ini kan bukan kita pakai untuk masyarakat publik gitu lho, kalau untuk EUA yang jutaan dosis sih mungkin kita begini okelah," kata dia.
Baca juga: Tenaga Ahli Menkes Sebut Bahan Baku Vaksin Nusantara Impor dari Luar Negeri
Sebagaimana diketahui, uji klinik fase kedua vaksin Nusantara tetap dilanjutkan meski belum mendapatkan izin atau Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) dari BPOM.
Melki bersama sejumlah anggota DPR pun menjadi relawan pengembangan vaksin Nusantara. Sampel darah mereka diambil di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/4/2021).
Padahal, berdasarkan data studi vaksin Nusantara, tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, relawan mengalami kejadian yang tidak diinginkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg.
"Dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant," kata Penny, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (14/4/2021).
Penny mengatakan, KTD pada relawan antara lain nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
Menurut Penny, KTD grade 3 terjadi pada pada 6 subjek.
Rinciannya, satu subjek mengalami hipernatremi, dua subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan tiga subjek mengalami peningkatan kolesterol.
Penny menjelaskan, KTD grade 3 merupakan salah satu kriteria untuk menghentikan pelaksanaan uji klinik sebagaimana tercantum pada protokol.
Namun, tim peneliti tidak melakukan penghentian uji klinik.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.