JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Eriko Sotarduga menilai, utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tidak membahayakan atau tidak dalam kondisi lampu merah.
Pasalnya, ia mengatakan, utang Indonesia masih berada di bawah 40 persen dari produk domestik bruto atau gross domestic product (GDP).
"Indonesia GDP-nya itu 1,1 triliun dollar AS. Utangnya kurang lebih 400 miliar dollar AS, berarti kurang lebih masih di bawah 40 persen dari GDP. Sedangkan yang dikatakan kondisi itu sudah lampu merah kalau dia sudah di atas 80 persen dari GDP," kata Eriko saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa dari segi kriteria atau segi aturan yang dipakai internasional, kondisi utang Indonesia belum termasuk berbahaya.
Baca juga: Pemerintah Jokowi Tarik Utang Baru Rp 30 Triliun dari SUN
Eriko membandingkan kondisi utang Indonesia dengan beberapa negara di antaranya Amerika Serikat dan Jepang.
Menurutnya, dua negara tersebut memiliki utang di atas 100 persen dari GDP. Untuk beberapa negara Eropa, kata dia, utangnya sudah berada di atas 80 persen.
Eriko mengungkapkan, tidak ada satu pun negara di dunia yang tidak berutang. Bahkan dua AS dan Jepang yang merupakan negara maju, kata dia, justru memiliki utang lebih besar daripada GDP negaranya.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa tidak masalah apabila suatu negara melakukan pinjaman atau utang.
Asalkan, utang atau pinjaman itu dilakukan untuk hal-hal yang produktif dan menghasilkan untuk negara tersebut.
"Pertama, apakah itu dibuat untuk nanti membuat Indonesia lebih bisa bersaing di tingkat internasional. Contohnya kita buat utang itu untuk membangun infrastruktur. Ini kan penting," jelasnya.
Eriko mengungkapkan, Indonesia membangun infrastruktur untuk mempermudah proses ekspor produk.
Ia menambahkan, pembangunan infrastruktur juga berkaitan dengan biaya perjalanan, biaya transportasi, hingga biaya akomodasi agar menjadi lebih murah.
"Tidak mungkin terjadi kalau itu memang tidak ada infrastruktur yang baik. Itu salah satu hal yang baik di dalam utang yang dipakai untuk infrastruktur," ungkapnya.
Selain itu, Eriko menganggap wajar apabila negara berutang untuk hal-hal yang produktif. Misalnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia hingga pembangunan kilang minyak dan pembangunan berasaskan sustainable.
Ketiga, berkaitan dengan nilai tambah yang akan didapat Indonesia. Menurutnya, utang Indonesia wajar apabila dipakai untuk kegiatan yang betul-betul memberikan nilai tambah ke depannya.
"Contohnya, membangun fasilitas-fasilitas yang untuk nanti dipakai Indonesia menunjang negara tujuan pariwisata," terangnya.
Baca juga: Utang Luar Negeri Naik, Pimpinan Komisi XI: Yang Terpenting Harus Digunakan Maksimal
"Ini tidak masalah, tetapi kalau hal ini dipakai untuk hal lain. Nah, itu yang harus kita lihat lebih jauh," sambung dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tercatat sebesar 417,5 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 5.803,2 triliun (kurs Rp 13.900 per dollar AS).
Utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020, tercatat pada posisi lebih tinggi dibandingkan akhir kuartal III yang sebesar 413,4 miliar dollar AS.
Besaran utang itu terdiri dari utang luar negeri (ULN) sektor publik pada akhir kuartal IV 2020, yakni pemerintah dan bank sentral, sebesar 209,2 miliar dollar AS atau Rp 2.907 triliun dan ULN sektor swasta termasuk BUMN sebesar 208,3 miliar dollar AS atau Rp 2.895 triliun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.