Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Cipta Kerja Segera Disahkan, DPR Disebut Bukan Wakili Rakyat

Kompas.com - 05/10/2020, 06:52 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menyebut, pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sangat mengabaikan kepentingan rakyat.

Proses pembentukan RUU ini dilakukan secara tertutup, sembunyi-sembunyi serta diskriminatif karena hanya melibatkan kelompok pengusaha dan sebaliknya mengabaikan warga.

DPR disebut bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil pemodal dan pengusaha.

"Ini sangat sangat memprihatinkan," kata Arif dalam sebuah konferensi pers virtual bersama sejumlah organisasi gerakan rakyat, Minggu (4/10/2020).

Baca juga: Jadi Kontroversi, Apa Itu RUU Cipta Kerja?

"Kita melihat yang duduk di Senayan sana hari ini bukan wakil-wakil rakyat, tapi mereka adalah wakil-wakil pengusaha. Bukan wakil-wakil rakyat, tetapi mereka adalah wakil-wakil pemodal," lanjut dia.

Arif mengatakan, tidak seharusnya pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara tertutup.

Sebab, RUU ini bukan hanya berdampak pada pengusaha, tetapi juga buruh, mahasiswa, nelayan, petani, ibu rumah tangga, masyarakat adat dan seluruh warga negara Indonesia.

Dampaknya bukan sebatas pada persoalan ketenagakerjaan, melainkan juga sumber daya alam, pendidikan, soal tambang dan persoalan lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Siap Demo dan Mogok Kerja

Menurut Arief, Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan bentuk kejahatan konstitusi.

Sejak awal kemunculannya, RUU ini cacat formil, cacat prosedur dan cacat materil karena menabrak berbagai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi sebagai hukum tertinggi negara.

"Ini akan menjadi sebuah kejahatan terhadap konstitusi. Bukan hanya kejahatan, tetapi ini adalah bentuk pengkhianatan pemerintah dan juga DPR terhadap prinsip-prinsip demokrasi, prinsip-prinsip konstitusi dan juga negara hukum," ujar Arif.

Baca juga: Dibahas Kilat, Formappi Sebut RUU Cipta Kerja Pesanan Pihak Tertentu

Oleh karena itu, LBH Jakarta bersama sejumlah organisasi gerakan rakyat lainnya menyatakan penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai undang-undang.

Organisasi-organisasi tersebut tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) dan Aliansi-aliansi Daerah. Mereka menyerukan aksi mogok nasional pada 6, 7 dan 8 Oktober 2020 mendatang.

Puncaknya, pada 8 Oktober akan digelar aksi besar-besaran di depan gedung DPR RI dan pemerintah daerah masing-masing kota.

"Kita akan melakukan aksi 6, 7 dan 8 Oktober 2020, akan melakukan aksi di berbagai macam daerah, bahkan titik puncaknya nanti adalah pada 8 Oktober di DPR RI," kata Perwakilan Gebrak yang juga Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos.

Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Akan Mogok Kerja di Lingkungan Perusahaan

Aksi nasional ini bakal mengusung satu tuntutan, yakni meminta DPR dan pemerintah membatalkan Omnibus Law seluruhnya. Sidang paripurna DPR diminta untuk tidak mengesahkan dan mengundangkan RUU Cipta Kerja.

Sebelumnya diberitakan, DPR dan pemerintah menyepakati seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.

Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (3/10/2020).

Sebanyak tujuh fraksi di DPR menyatakan setuju terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja. Hanya dua fraksi yang menolak, yaitu PKS dan Partai Demokrat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com