Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dandi Supriadi, MA (SUT), PhD,
Dosen Jurnalistik

Kepala Kantor Komunikasi Publik Universtas Padjadjaran. Dosen Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Selain minatnya di bidang Jurnalisme Digital, lulusan pendidikan S3 bidang jurnalistik di University of Gloucestershire, Inggris ini juga merupakan staf peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad.

Pers: Antara Medsos, Hoaks, dan Kurasi

Kompas.com - 14/02/2020, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA pers dunia sedang mengalami transformasi yang signifikan sebagai akibat kemajuan teknologi dalam jaringan (online) yang berujung pada menurunnya minat orang membaca surat kabar cetak.

Sebuah artikel karya Alexandra Hudson yang dipublikasikan oleh Quillette pada Bulan Februari 2020 menyebutkan, perusahaan media lokal yang masih memakai publikasi tradisional tercetak sedang mencari model baru sebagai alternatif penyampaian informasi kepada publik.

Model tersebut melibatkan penerbitan berkala secara online sebagai pengganti percetakan manual, di samping masalah manajemen redaksional lainnya.

Sementara itu, saat ini banyak tokoh-tokoh yang menyatakan untuk meninggalkan media sosial dan kembali mencari informasi di website media massa konvensional.

Sebut saja Tony Fernandez, CEO Air Asia, yang memutuskan menutup akun media sosialnya di tahun 2020 ini. Juga, penulis Stephen King dan CEO Tesla Elon Musk melakukan hal yang sama.

Bahkan, hal itu terjadi pula pada Brian Acton yang dikenal sebagai eks CEO WhatsApp, layanan pesan yang justru berafiliasi dengan media sosial terpopuler saat ini, yaitu Facebook.

Acton mungkin punya alasan sendiri di balik penutupan akunnya yang berhubungan dengan sentimen bisnisnya dengan Facebook.

Namun, secara garis besar fenomena di atas mungkin terjadi karena orang-orang tersebut, yang memang hidup dalam masyarakat individualis dengan budaya literasi yang tinggi, mulai jengah dengan banyaknya beredar informasi di media sosial yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Sementara masyarakat yang literate memiliki kecenderungan untuk mencari informasi yang detail dan terdukung oleh data yang krebibel. Mereka juga sangat sensitif dengan ketidakakuratan berita yang mereka dapatkan.

Situasi ini menjadi menarik apabila ditarik ke kondisi di Indonesia. Statistik penggunaan media digital dari We are Social yang dipublikasikan Hootsuite di awal 2020 menunjukkan penggunaan media sosial pada 2019 justru mengalami peningkatan sebesar 15 persen.

Pengguna aktif media sosial tercatat mencapai sekitar 150 juta orang atau 57 persen dari jumlah total populasi Indonesia.

Artinya, media sosial di Indonesia masih banyak diminati, terlepas dari banyaknya disinformasi dan hoaks yang mudah tersebar di dalamnya.

Hal ini mungkin terjadi karena media sosial di Indonesia seakan-akan menjadi ekstensi dari percakapan antar pribadi yang informal.

Budaya oral dan kolektivisme di Indonesia

Dari hasil studi yang saya lakukan sejak 2015, didapat kenyataan bahwa rata-rata orang Indonesia memiliki tingkat kebiasaan membaca dan menelusuri informasi yang sangat rendah.

Rata-rata orang Indonesia mudah terpengaruh oleh pesan-pesan sensasional tanpa membaca lebih jauh informasi tersebut. Hal itu kemungkinan disebabkan budaya bangsa Indonesia yang masih dekat kepada orality.

Merujuk kepada pengertian orality atau oral culture dari Walter Ong, budaya ini lebih menyukai bentuk komunikasi lisan, terutama yang melibatkan opinion leader atau orang yang dianggap sesepuh, daripada membaca pesan dalam bentuk tulisan.

Kalaupun ada pesan tulisan yang digunakan, biasanya ditulis dalam bentuk bahasa obrolan, bukan formal apalagi ilmiah.

Selain itu, kebiasaan berbagi masalah keseharian dalam obrolan menunjukkan betapa bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat kolektif.

Berbagai penelitian sosiologi dan antropologi menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan bangsa dengan budaya kolektivisme.

Hofstede Insights, sebuah lembaga penelitian yang mendedikasikan diri untuk menggunakan model 6 dimensions of national culture dari Geert Hofstede, menemukan bahwa skor untuk orang-orang Indonesia jauh di bawah standar nilai untuk kategori bangsa individualis.

Artinya, dapat dideteksi bahwa dalam kehidupan keseharian, bangsa Indonesia secara garis besar berada dalam kelompok kolektivis.

Ciri-ciri yang khas dari kelompok ini adalah kebiasaan untuk berkomunikasi dalam kelompok secara informal dan menjaga harmoni.

Ini yang menyebabkan bangsa Indonesia masih menyukai berkomunikasi via media sosial.

Statistik menunjukkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 26 menit dalam sehari untuk berselancar di media sosial.

Artinya, orang Indonesia masih sangat rentan untuk diterpa berita-berita mengandung disinformasi ataupun hoaks yang secara terus menerus diunggah oleh orang-orang tertentu dan disebarkan melalui fasilitas share.

Mengapa orang Indonesia begitu mudah menekan tombol share? Salah satu alasannya adalah karena tingkat kepercayaan mereka kepada sumber informasi.

Seperti yang tadi dikatakan, salah satu ciri masyarakat kolektif adalah memercayai opinion leader atau orang yang dianggap mewakili kebijaksanaan tertentu.

Baru-baru ini ada sebuah kasus ketika sebuah akun medsos atas nama seseorang yang dianggap pemuka agama menyebarkan foto yang menggambarkan sejumlah orang tergeletak di jalan raya sebuah kota.

Teks yang menyertai foto menyatakan bahwa kejadian yang ada dalam gambar terjadi di China sebagai akibat menyebarnya virus corona.

Konten medsos tersebut langsung mendapat reaksi dari orang-orang yang menjadi pengikut dari pemuka agama tersebut dan meyebarkannya.

Selang berapa lama, ditemukan foto yang sama, yang ternyata merupakan publikasi tahun 2014 tentang demonstrasi di Frankfurt, Jerman.

Artinya, konten medsos tadi jelas disinformasi, yang sayangnya sudah terlanjur disebarkan karena orang-orang begitu percaya kepada sumber informasi tersebut.

Dengan kecenderungan di atas, masyarakat Indonesia yang hidup secara kolektif dan kurang minat baca menjadi sangat rentan terpengaruh berita palsu.

Tidak heran apabila pada 2018, Kemkominfo sempat menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia sebagai negara yang paling mudah percaya hoaks.

Tentu saja ini bukan sebuah prestasi, melainkan kondisi yang memprihatinkan.

Peran pers di dunia medsos

Pers tentu saja memiliki peran yang mulia untuk memperjuangkan kebenaran dan mengembangkan opini masyarakat berdasarkan informasi yang akurat, seperti yang termaktub dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Dalam melaksanakan perannya itu, dunia pers yang sedang bertransformasi menjadi media fully digitalized mau tidak mau harus berjuang untuk bersaing dengan media sosial.

Riset yang saya lakukan sepanjang tahun 2015-2019 memperlihatkan bahwa media sosial menjadi elemen penting dalam produksi berita saat ini.

Dalam riset tersebut, setidaknya ada tiga media online besar di Indonesia yang menyatakan, mereka harus berusaha keras untuk mempertahankan loyalitas khalayaknya yang sudah banyak beralih ke media sosial.

Alasan mereka beralih adalah karena secara digital konten di media sosial lebih mudah diakses.

Selain itu, mereka lebih mudah memilih informasi mana yang dirasa penting untuk diakses karena mereka melihat topik yang sedang banyak diperhatikan oleh orang-orang dalam jaringan pertemanannya.

Cara yang paling lazim dilakukan oleh media, termasuk ketiga media online di Indonesia tersebut, adalah dengan turut bergabung dalam komunitas media sosial, kemudian menyebarkan tautan berita disertai lead yang membuat penasaran melalui akun media sosialnya.

Dengan demikian, khalayak yang lebih memilih mencari informasi di media sosial akan tergiring untuk masuk ke website media yang bersangkutan dengan cara mengeklik tautan tersebut dan mendapatkan informasi yang telah terverifikasi kebenarannya.

Cara kedua yang banyak dilakukan adalah dengan memanfaatkan konten-konten media sosial yang berkaitan dengan kejadian yang sedang aktual untuk dijadikan bagian dari naskah berita.

Konten-konten yang relevan dikumpulkan, kemudian diseleksi, lalu dimasukkan ke dalam tubuh berita sebagai kutipan. Cara ini yang kemudian dikenal dengan nama kurasi konten atau jurnalisme kurasi.

Jurnalisme kurasi telah berkembang di dunia sejak 2008, di saat masyarakat yang tadinya merupakan khalayak pasif dari media massa mulai bertambah aktif untuk membuat cerita sendiri.

Tentu saja hal ini dimungkinkan berkat kehadiran berbagai macam aplikasi media sosial yang sangat mudah untuk dipergunakan.

Pada praktiknya, Guallar dan Levia-Aguilera (2013) membuat sebuah model untuk menggambarkan proses jurnalisme kurasi.

Model ini disebut 4S, yang menggambarkan proses kurasi konten dalam empat fase berurutan: searching (mencari), selecting (memilih), sense making (memberi konteks untuk membuatnya masuk akal), dan sharing (berbagi).

Dari keempat fase tersebut, fase berbagi adalah aktivitas yang sangat penting dalam praktik jurnalisme kurasi.

Ini adalah fase di mana wartawan menggunakan komunikasi online untuk terlibat dalam dialog dengan audiens yang semakin aktif untuk berpartisipasi dalam produksi berita.

Kurasi Indonesia menyiasati hoaks

Di Indonesia, praktik kurasi ini telah lama diterapkan, terutama setelah booming media sosial dan instant publishing seperti blog atau Twitter.

Walaupun wartawan pada umumnya belum mengenal istilah jurnalisme kurasi, namun kenyataannya mereka telah melakukan praktik ini dengan cara mencari informasi dari warga yang ada di lapangan melalui media sosial.

Metode ini dirasakan sangat praktis, karena media massa berkemampuan dengan segera mendapatkan informasi dari sebuah lokasi kejadian tertentu dengan memanfaatkan konten media sosial dari warga yang sedang ada di situ.

Hal itu dapat dilakukan bahkan sebelum perusahaan berita tersebut mengirimkan reporternya ke lokasi kejadian.

Dalam rangka memenangkan perlombaan berita tercepat di antara media-media pesaing, sebuah outlet berita online diuntungkan dengan adanya metode ini.

Tantangannya adalah, bagaimana agar pers tidak terjebak oleh akun-akun media sosial yang menyebarkan informasi tidak akurat.

Ternyata, media online di Indonesia memiliki jawabannya, yaitu dengan tidak serta-merta menayangkan tautan asli konten media sosial dalam berita mereka.

Yang dilakukan adalah menulis kembali konten media sosial terpilih kemudian menyiarkannya dalam bentuk tulisan seperti media konvensional.

Secara sepintas, tindakan media di Indonesia untuk menyeleksi kemudian menulis ulang pernyataan khalayak dapat dianggap menyalahi konsep demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak untuk berbicara.

Namun sebenarnya, tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan kredibiltas media yang bersangkutan dengan cara memverifikasi kebenaran informasi tersebut.

Berdasarkan studi komparasi yang saya lakukan, terlihat bahwa media online internasional atau Barat lebih percaya kepada masyarakatnya.

Mereka banyak menayangkan hasil kurasi dari media sosial dengan menyematkan tautan asli di antara paragraf-paragraf berita.

Artinya, pembaca berita dapat dengan langsung membaca konten media sosial tersebut dalam bentuk aslinya.

Hal ini menunjukkan, media online internasional atau Barat meyakini kredibilitas khalayaknya sebagai sumber berita yang dapat dipercaya.

Sementara pihak redaksi di media online Indonesia sudah dapat memetakan seperti apa kualitas suara khalayak di media sosial, termasuk potensi tinggi untuk menebarkan informasi tidak akurat.

Konsekuensinya, pihak media tidak mau mengambil risiko dengan menayangkan informasi yang belum terverifikasi.

Dalam hal ini, pers Indonesia telah melakukan upaya yang ketat dalam memerangi hoaks, disinformasi, dan trial by the press.

Namun demikian, harus diakui bahwa sampai saat ini keberadaan media massa konvensional di Indonesia masih kalah bersaing dengan pamor media sosial.

Praktik kurasi yang ketat sepertinya mutlak harus dilakukan oleh para editor dan penulis berita agar tidak terjebak oleh lemahnya akurasi informasi di akun-akun media sosial di Indonesia.

Selain itu, pendidikan literasi media dan peningkatan minat baca benar-benar harus dilakukan sejak dini.

Dengan demikian, konten media sosial di Indonesia dapat menjadi bahan kurasi yang meyakinkan.

Semoga di usia yang sudah melebihi tujuh dasawarsa ini, pers Indonesia semakin mantap menjadi pilar penjaga kebenaran.

Dengan demikian, Indonesia akan menjadi lebih dewasa, lebih cerdas literasi, dan benar-benar bebas hoaks!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com