JAKARTA, KOMPAS.com - Ketentuan mengenai mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah dalam Undang-undang Pilkada kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon dalam pengujian perkara ini adalah seorang wiraswasta bernama Hendra Otakan Indersyah.
Ia menyoal Pasal 176 ayat (2) pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang pada pokoknya mengatur bahwa kekosongan jabatan wakil kepala daerah dapat diisi oleh calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Baca juga: Berangkat dari Kosongnya Kursi Wagub DKI, UU Pilkada Digugat ke MK
Hendra menilai, ketentuan tersebut menghilangkan haknya untuk dapat ikut mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah karena dirinya bukan kader partai.
"Saya merasa hak konstitusional itu dirugikan dengan berlakunya Pasal 176 ayat 2 UU Pilkada. Yaitu saya tidak memperoleh peluang secukupnya untuk turut dicalonkan atau mencalonkan diri yaitu mulai penjaringan bakal calon, menjalani fit and proper test dalam pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta sisa masa bakti 2017-2022," kata Hendra dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2020).
Hendra berpandangan, dengan berlakunya ketentuan tersebut, figur calon wakil gubernur yang muncul menjadi terbatas.
Padahal, belum tentu juga calon yang diajukan sesuai dengan sosok pemimpin yang dibutuhkan oleh daerah yang terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur.
"Seperti sudah terjadi juga, yaitu Pak Gubernurnya sendiri saya pikir manajemen SDM-nya kurang," ujar Hendra.
Baca juga: Jika Terpilih Jadi Wagub DKI, Riza Patria Diminta Jaga Hubungan dengan Pihak Ini
Dalam hal kekosongan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta, menurut Hendra, sebenarnya dibutuhkan sosok yang memahami penanggulangan persoalan musiman yang terjadi di ibu kota.
Sebagai seorang yang bekerja di bidang tata bangunan, Hendra merasa dirinya mampu untuk menawarkan solusi persoalan tersebut.
Akan tetapi, ia menegaskan, kesempatan dirinya untuk maju sebagai cawagub hilang karena berlakunya Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada.
"Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada itu sesungguhnya inkompetibel atau tidak bersesuaian dengan UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (2), juga Pasal 18 ayat (4)," kata Hendra.
Baca juga: Tata Tertib Tak Kunjung Disahkan, Pemilihan Wagub DKI Molor Lagi
Ketentuan tentang mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang dimuat dalam Undang-undang Pilkada bukan pertama kalinya diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, ketentuan tersebut juga digugat oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara bernama Michael.
Ia menggugat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 176, karena dinilai tidak mrnciptakan pemilihan umum yang demokratis.
"Pertama bahwa Pasal 176 sendiri tidak menciptakan pemilihan umum yang demokratis," kata penggugat dalam sidang pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).
Dalam Pasal 176 ayat (1) UU Pilkada disebutkan bahwa jika wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.