Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu 2019 Dinilai Tak Adil bagi Peserta, Pemilih, dan Penyelenggara

Kompas.com - 02/02/2020, 18:16 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pelaksanaan Pemilu 2019 belum adil baik untuk peserta, pemilih, maupun penyelenggara.

Hal tersebut disampaikan Titi saat peluncuran buku Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem ke Manajemen Pemilu di kawasan Jalan Sultan Agung, Jakarta Pusat, Minggu (2/2/2020).

"Pemilu 2019 belum adil kepada peserta, pemilih, dan penyelenggara. Bukan hanya soal kompetisi yang setara tapi dilihat dari bobot kemampuan, beban kontestasi, rasionalitas pemilih untuk kontestan," kata dia.

Baca juga: KPU Sebut Jumlah Caleg Perempuan di Pemilu 2019 Paling Tinggi

Ketidakadilan bagi pemilih adalah kerumitan pemilu serentak. Terbukti, kata dia, pelaksanaan Pemilu 2019 menghasilkan suara tidak sah yang tinggi karena kerumitannya.

"Dari sisi beban penyelenggara, produk UU Pemilu disahkan sehari sebelum tahapan. Saat diselenggarakan tahapan, di saat yang sama seleksi KPU Kabupaten/Kota. Bebannya bertumpuk," kata dia.

Sementara bagi peserta, ketidakadilan salah satunya nampak dari ambang batas presiden yang seolah hanya menghasilkan dua pasangan kandidat pada pilpres.  

Oleh karena itu, menurut dia, seharusnya sistem dan manajemen pemilu bisa didesain dengan baik agar proses pemilu bisa adil bagi penyelenggara, pemilih, dan peserta.

Hasil penelitian yang dituangkan dalam buku Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem ke Manajemen Pemilu itu, Perludem memetakan tiga masalah manajemen yang berdampak pada sistem pemilu.

Peneliti Perludem Heroik M. Pratama mengatakan, masalah pertama adalah soal penggabungan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota yang memecah konsentrasi kepentingan nasional dan lokal.

Baca juga: Ini 3 Catatan Bawaslu untuk KPU tentang Pelaksanaan Pemilu 2019

"Kedua, daerah pemilihan yang amat besar sehingga membuat kepesertaan pemilu riuh dan membingungkan," kata dia.

Adapun yang ketiga adalah dipertahankannya ambang batas pencalonan Presiden berdasarkan kepemilikan kursi atau suara dari pemilu sebelumnya.

"Hal tersebut menimbulkan polarisasi massa menyerang psikologis negatif melalui hoaks, fake news, bahkan kriminalisasi," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com