"Sebagaimana yang kita sampaikan dalam rapat dengan Komisi II kemarin, bahwa ada beberapa pemda yang secara sepihak melakukan rasionalisasi anggaran pilkada di bawah angka yang sudah disepakati," ujar Pramono ketika dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (17/1/2020).
"Mereka (pemda) beralasan bahwa kemampuan keuangan sangat terbatas," kata Pramono.
Kesepakatan tentang anggaran pilkada ini sudah tertuang dalam naskah persetujuan hibah daerah (NPHD).
Pramono menuturkan, pemangkasan ini berdampak kepada anggaran penyelenggaraan pemilu untuk KPU dan anggaran pengawasan untuk Bawaslu.
Pramono tidak merinci daerah mana saja yang terdampak pemangkasan anggaran pilkada.
Dia hanya mencontohkan di Mandailing Natal ada pemangkasan anggaan sekitar Rp 3 miliar.
Kemudian, di Ogan Komering Ulu Timur mengalami pemangkasan anggaran pilkada hingga Rp 10 miliar.
''Untuk kejadian di Ogan Komering Ulu Timur inisiatif pemotongannya dari DPRD. Alasannya karena keterbatasan APBD," ujar Pramono.
Baca juga: KPU: Jika Anggaran Dipangkas, akan Mengganggu Tahapan Pilkada
Kondisi ini, kata dia, tentu mempengaruhi penyelenggaraan Pilkada 2020 di daerah yang mengalami pemangkasan anggaran.
Lebih lanjut, Pramono menjelaskan dampak yang terjadi akibat pemotongan.
"Salah satunya, pemda main pukul rata jumlah pemilih per tempat pemungutan suara (TPS)," tuturnya.
Sistem pukul rata yang dimaksud adalah membagi jumlah penduduk dengan angka maksimal jumlah pemilih di TPS berdasarkan UU Pilkada, yakni 800 orang.
"Pokoknya jumlah TPS harus sekian, yakni (ditentukan) lewat membagi jumlah penduduk dengan angka 800. Tapi kan secara faktual, ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan TPS," ungkapnya.
Misalnya, kata Pramono, ada aturan yang tidak boleh menggabungkan desa/kelurahan tertentu dalam satu TPS.
Selain itu, jarak rumah penduduk ke TPS tidak boleh terlalu jauh.
Baca juga: Pasca-kasus Wahyu Setiawan, KPU Akan Kumpulkan KPU Provinsi