Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti: Pilkada DKI 2012, Momentum Berkembangnya Buzzer...

Kompas.com - 11/10/2019, 16:33 WIB
Christoforus Ristianto,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Klara Esti mengatakan, fenomena buzzer politik boleh dikatakan dimulai pada Pilkada DKI Jakarta 2012.

"Peristiwa politik Pilgub DKI Jakarta 2012 menjadi salah satu momen berkembangnya buzzer," ujar Klara dalam diskusi bertajuk "Buzzer dan Ancaman terhadap Demokrasi" di kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

Pada saat itu, dunia media sosial di Indonesia memang sedang berkembang pesat, terutama Twitter.

Baca juga: Buzzer Dinilai Tak Bisa Dihilangkan, Tergantung Adanya Kepentingan

Klara mengatakan, pesatnya perkembangan media sosial Tanah Air bertepatan dengan momentum politik di mana aktor-aktornya membutuhkan popularitas.

Tak heran, buzzer menjadi sebuah industri yang menjanjikan. Apalagi, dinamika politik Indonesia semakin memanas pada Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.

"Di Indonesia, buzzer-buzzer kembali meramaikan media sosial pada Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, hingga Pilpres 2019. Dari momen-momen inilah, istilah buzzer kemudian semakin sering disebut dan semakin berani menunjukkan diri," ujar dia.

Klara menambahkan, fenomena tersebut turut memperluas fungsi buzzer yang sebelumnya lebih banyak digunakan perusahaan-perusahaan swasta untuk mendongkrak penjualan melalui teknik marketing sosial.

Baca juga: Diminta Jadi Menteri Lagi, Susi: Itu Namanya Buzzer, Dilarang

Partai politik, politikus dan instansi pemerintah juga menyampaikan gagasan sekaligus membentuk citra di hadapan publik.

Dengan tersedianya pasar serta ekosistem digital di media sosial yang mendukung, lanjutnya, tak heran buzzer pun menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.

"Lingkup pekerjaan buzzer pun tidak lagi terbatas dalam mengiklankan sebuah produk, tetapi juga masuk ke ranah politik," lanjut dia.

Fenomena buzzer di Indonesia salah satunya diulas dua ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard.

Keduanya menemukan ada penggunaan pasukan siber dunia maya (cyber troop) untuk mempengaruhi opini masyarakat dan lawan politik.

Baca juga: Buzzer, Demokrasi dan Pertarungan Opini

Tidak hanya terjadi di Indonesia, pasukan siber dunia maya atau yang kerap dikenal dengan buzzer tersebut ternyata merupakan fenomena global.

Dalam laporan mereka yang bertajuk 'The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation', mereka menemukan bahwa buzzer politik di Indonesia dibayar.

Samantha dan Philip menjelaskan bahwa buzzer Indonesia memakai empat platform media sosial, yakni Twitter, Facebook, WhatsApp dan Instagram.

Diketahui pula bahwa politikus dan partai politik serta kontraktor pribadi menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai, menyerang lawan politik dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.

Baca juga: Menkominfo: Buzzer Enggak Salah, Apa Bedanya dengan Influencer?

Samantha dan Philip pun mengkategorikan buzzer menjadi empat kategori, yaitu minimal cyber troop teams, low cyber troop capacity, medium cyber troop capacity, dan high troop capacity.

Indonesia, menurut laporan itu, menempati kategori low cyber troop capacity atau pasukan dengan kapasitas rendah.

Para buzzer tersebut tidak dikontrak secara permanen dan dibayar senilai Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. 

 

Kompas TV Karopenmas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menyatakan tersangka penyerangan Menko Polhukam Wiranto memiliki harapan untuk ditembak mati di tempat. Hal ini akan membuat mereka merasa berhasil dalam jihad. Berikut pernyataan Karopenmas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo. #Wiranto #WirantoDitusuk #MabesPolri
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com