JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengingatkan, peperangan bisa terjadi jika penggunaan media sosial bersifat destruktif.
Di era saat ini, kata Connie, media sosial bisa menjadi senjata 'mematikan'.
"Ancaman senjata itu tidak saja berbentuk pistol, tapi bisa juga media sosial," ujar Connie dalam diskusi bertajuk Muara Unjuk Rasa, NKRI Mau Dibawa Kemana? di Balai Sarwono, Jakarta, Kamis (3/10/2019).
"Bahwa perang yang terjadi menurut saya adalah di tangan Anda semua jadi bukan senjata arsenal mematikan dan mengerikan seperti di Irak, Afghanistan, bukan dengan drone, tapi yang Anda pegang (gawai dan medsos)," kata dia.
Baca juga: Pengamat: Negara Harus Hadir dan Ubah Pola Destruktif Penggunaan Medsos
Menurut dia, internet dan media sosial bisa menjadi alat untuk mengganggu pikiran, perasaan hingga perspektif orang.
Gejolak yang terjadi belakangan di Indonesia, kata dia, menjadi salah satu bukti betapa signifikannya peran media sosial dalam memicu konflik.
"Perang masa depan itu kita enggak bisa lihat bentuk perangnya seperti apa, tiba-tiba ada aja di tengah kita, yaitu di otak kita," kata Connie.
"Kemudian war between everyone, saya bisa aja curiga sama orang depan saya, karena misalnya kita tergabung di grup WhatsApp yang sudah seperti geng. Saya dengan siapa, yang lain dengan siapa," tuturnya.
Baca juga: Dampak Buruk Berdebat di Media Sosial untuk Kesehatan
Melalui disinformasi dan berita bohong yang tersebar masif di medsos dan internet, bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Misalnya, kata Connie, orang Australia lebih takut dengan ISIS dibandingkan ancaman lainnya yang lebih berdampak, seperti pemanasan global.
Sebab, jaringan ISIS mampu memanfaatkan medsos untuk menyebar ketakutan bahkan merekrut orang lain untuk bergabung.