JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepolisian RI membuka akses pendampingan hukum terhadap mahasiswa yang ditahan di Polda Metro Jaya.
Wakil ketua Komnas HAM bidang internal Hairansyah menyatakan, berdasarkan kunjungan pihaknya ke Polda Metro, mahasiswa yang ditahan kini belum mendapatkan pendampingan hukum.
"Kalau ditahan wajib didampingi pengacara, pembela, atau advokat. Selain itu, mereka bisa dikunjungi, baik oleh pengacara maupun keluarganya, nah ini kemarin tidak bisa. Walaupun sebagian besar sudah dilepaskan, tetapi sebagian masih di dalam proses pengamanan," ujar Hairansyah dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Baca juga: Diperiksa Polisi, Ananda Badudu Lihat Banyak Mahasiswa Diproses dengan Cara Tak Etis
"Sehingga kami meminta tentu ada kejelasan status bagi mereka yang diamankan, statusnya apa, dan kemudian wajib ada pendamping hukum," sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, komisioner bidang pendidikan dan penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan, pihaknya meminta Polri membuka akses pendampingan hukum ke mahasiswa yang ditahan.
Menurutnya, status hukum dari para mahasiswa kini tidak jelas. Status diamankan oleh Polri dianggap multitafsir.
"Status diamankan itu menjadi tidak jelas bagi mahasiswa yang dibawa oleh pihak kepolisian. Karena kalau bahasa diamankan kan persepsi umumnya berarti mereka mendapat ancaman sehingga harus dibawa gitu, tetapi yang terjadi sebaliknya," ungkap Beka.
Dengan status diamankan, lanjutnya, maka merujuk prosedur hukum di Indonesia, terutama dalam KUHAP, sejatinya para mahasiswa dibebaskan karena sudah diamankan lebih dari 1 X 24 jam.
Baca juga: Demo Mahasiswa Ricuh, Pengamat Sebut Intelijen Harus Bergerak
"Kalau tidak ditemukan tindak pidananya dalam 1 X 24 jam ya harus dibebaskan," imbuhnya.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di sejumlah daerah pada Selasa (24/9/2019) di sekitar Gedung DPR berujung ricuh.
Aksi yang sama dilakukan para pelajar SMK yang juga berakhir dengan kerusuhan.
Demo tersebut digelar karena menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.