Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/08/2019, 06:00 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi


KOMPAS.com - “ORANG MEMANGGIL AKU: MINKE. Namaku sendiri... Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila mysteri. Telah aku timbang: belum perlu benar tampilkan diri dihadapan mata orang lain.”

Sepotong perkenalan itu membuka Bumi Manusia, seri pertama Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer.

Minke dan Bumi Manusia yang dulu nyaris terkubur karena dilarang pemerintah Orde Baru, kini akhirnya dirayakan bangsa Indonesia.

Tapi, tahukah Anda siapa sebenarnya Minke? Apakah ia hanya sosok khayalan Pram sebagaimanna lazimnya tokoh-tokoh dalam sebuah novel?

Minke tak sepenuhnya imajinasi Pram. Ia sosok nyata yang dikembangkan secara imajinatif oleh Pram.

Dalam Jejak Langkah, serial ketiga dari Tetralogi Buru, cetakan pertama (1985), disebutkan, Pram mengembangkan tokoh Minke dari sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhie Soerjo yang kini dikenal sebagai Bapak Pers Nasional.

“Tirto Adhi Soerjo, inisiator dan tokoh utama yang membangkitkan kurun kebangunan nasional, telah mengilhami Pramoedya untuk melahirkan seorang Minke, figur utama Jejak Langkah,” begitu tulis penerbit Hasta Mitra di halaman belakang Jejak Langkah.

Pram juga menggunakan inisial Tirto yakni T.A.S sebagai inisial yang kerap digunakan Minke saat menulis tajuk rencana.

Bagi Pram, Tirto lebih dari sekedar perintis pers. Tirto adalah sosok yang mempelopori kebangkitan nasional. Apa yang membuat Pram begitu terpikat pada sosok Tirto?

Sang Pemula

Apa yang dialami Minke dalam Jejak Langkah, dialami oleh Tirto. Tentunya tak sepenuhnya fakta, tapi ditambahi imajinasi Pram sendiri.

Tak cukup memfantasikan Tirto lewat Tetralogi Buru, pada 1985 Pram menulis Sang Pemula, semi-biografi Tirto.

Dalam buku itu, Pram menyebut tak banyak yang bisa dihimpun tentang masa kecil Tirto. Sama seperti Pram, Tirto berasal dari Blora, Jawa Tengah.

Lahir pada 1880, Tirto tak banyak bercerita soal orangtuanya. Ia sendiri dibesarkan oleh kakeknya, RMT Tirtonoto, Bupati Bojonegoro.

Dalam Bumi Manusia, Minke sempat disiksa bapaknya karena lupa keluarganya. Padahal, bapaknya bakal diangkat jadi Bupati B. Tak diketahui apakah B yang dimaksud Blora atau Bojonegoro.

Setelah lulus sekolah dasar Belanda atau Europeesche Lagere School, Tirto masuk sekolah kedokteran STOVIA di Betawi atau Jakarta.

Pilihannya ini tergolong aneh. Sebab biasanya anak keluarga priyayi, seperti delapan saudara kandung Tirto, melanjutkan sekolah untuk calon pegawai negeri.

Pram menulis, di Betawi Tirto melepaskan semua ikatan dan tradisi keluarga Jawa priyayi yang dikenalnya. Tradisi yang selama ini dibenci Pram karena menghambat pemikiran progresif.

“Ia langsung menceburkan diri dalam pergaulan dengan seluruh lapisan masyarakat. Ini dapat diketahui dari cepatnya ia dapat menyerap dialek Melayu-Betawi, dan langsung menggunakannya dalam tulisan,” tulis Pram dalam Sang Pemula (1985).

Sikap Tirto yang meninggalkan keningratannya ini menjadi karakter utama Minke. Pram membentuk Minke sebagai pribadi yang menghamba pada pengetahuan, kebarat-baratan, dan antitradisi Jawa. 

Masuknya Tirto ke STOVIA sekaligus membuka cerita Minke dalam Jejak Langkah. Diceritakan saat belajar di STOVIA, Minke bertemu dengan Ang San Mei, aktivis dari Tiongkok.

Mereka akhirnya menikah. Sayangnya Mei sakit hingga membuat Minke mengabaikan pendidikannya di STOVIA. Mei akhirnya meninggal dan Minke dikeluarkan dari sekolah.

Tirto memang dikeluarkan dari STOVIA setelah menempuh enam tahun studi. Tak ada yang tahu pasti kenapa.

Ada yang bilang karena Tirto ketahuan mengeluarkan resep untuk sahabatnya, seorang Tionghoa miskin. Ada pula yang menyebut karena Tirto lebih suka dunia tulis-menulis.

"Apakah sebangsamu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai kalau bukan kau?" begitu tanya Pramoedya Ananta Toer dalam novel Jejak Langkah.

Novel Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer.KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO Novel Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer.

Selama sekolah di STOVIA, Tirto sering mengirim tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Jakarta. Ia pernah membantu Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, dan Pembrita Betawi.

Setelah lepas dari STOVIA, Tirto langsung diangkat sebagai redaktur dan redaktur-kepala Pembrita Betawi pada 1901. Tapi karir Tirto di surat kabar itu tak lama.

Pada 1903, ia menjual harta bendanya dan pindah ke Desa Pasircabe di dekat Bandung, Jawa Barat.

Bupati Cianjur saat itu, RAA Prawiradiredja menawari Tirto tambahan modal jika ingin membuat surat kabar sendiri. Tak butuh waktu lama, Tirto mendirikan penerbitan Soenda Berita.

Koran itu tercatat sebagai pers pertama yang dimodali, dikelola, dan diisi pribumi. Meski pontang-panting mengelola Soenda Berita seorang diri, Tirto tetap bertahan dengan cita-cita memperkaya wawasan bangsanya sendiri.

“Pers adalah matahari bagi dunia maka kita mesti mengerti bahwa pers Melayu bisa tumbuh seperti cendawan di musim hujan, tetapi segera berontokan bagaikan daun layu. Aku sendiri ingin sekali merombak keadaan semacam ini. Koranku akan aku isi dengan pikiranku dan pikiran orang-orang cerdik pandai, yang bisa mendidik bangsanya ke medan kemajuan dan kesempurnaan,” kata Tirto dalam Busono (1912), cerpen semi-otobiografinya.

Sayangnya Soenda Berita tak bertahan lama. Sekitar 1904-1906, Tirto mengembara ke Maluku.

Pram tak menulis persis alasannya. Namun ada yang mengatakan ia diasingkan dan terdampar di Pulau Bacan. Di sana, ia menikah degan Prinses Fatimah, saudari sultan terakhir Bacan, Sultan Oesman Sjah.

Sosok Prinses Fatimah ini menginspirasi Pram dalam menggariskan cerita cinta Minke.

Ceritanya, Minke akhirnya menikah lagi dengan Prinses van Kasiruta, putri raja Maluku yang ikut ayahnya dibuang ke Sukabumi. Kasiruta adalah pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Bacan.

Medan Prijaji dan Sarekat Dagang Indonesia

Kembali ke cerita Minke, sepeninggalan Mei, Minke mengikuti saran istrinya untuk tak sekadar menjadi dokter. Mei mendorong Minke memperjuangkan bangsanya dengan mendirikan organisasi.

Minke pun melakukannya dengan mendirikan Sarekat Prijaji. Tujuannya, memperjuangkan agar anak-anak Jawa bisa memperoleh pendidikan Belanda. Dari situ pula mulai terbitnya koran mingguan Medan Prijaji.

Hal yang sama terjadi pada Tirto. Ia membentuk Sarekat Prijaji pada 1906, dan menerbitkan surat kabar Medan Prijaji di Bandung setahun kemudian.

Meski Medan Prijaji terlilit utang di awal berdirinya, namun keberadaannya punya pengaruh besar.

Kurator di Monumen Pers Nasional, Kota Solo, Jawa Tengah, menunjukkan salah satu edisi Medan Prijaji yang terbit tahun 1910. Medan Prijaji menjadi titik tolak penting media massa menyuarakan hak warga terjajah, sekaligus membentuk identitas sebagai satu bangsa di Hindia Belanda ketika itu.KOMPAS/ ANTONY LEE Kurator di Monumen Pers Nasional, Kota Solo, Jawa Tengah, menunjukkan salah satu edisi Medan Prijaji yang terbit tahun 1910. Medan Prijaji menjadi titik tolak penting media massa menyuarakan hak warga terjajah, sekaligus membentuk identitas sebagai satu bangsa di Hindia Belanda ketika itu.

Surat kabar itu kerap mengungkap keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap perlakuan kalangan prijaji tinggi dan para pegawai pemerintah kolonial Belanda.

Tirto juga menerbitkan beberapa surat kabar dengan skala lebih kecil, salah satunya Poetri Hindia, yang memotori gerakan emansipasi wanita sebelum kemerdekan.

Pada 1909, Tirto mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI). Bagi Tirto, kesadaran akan pentingnya berdagang, lebih dari soal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdagang adalah bentuk kemerdekaan.

“Kita mesti ambil perniagaan yang dilakukan oleh bangsa asing. Kita anak negeri mesti jadi taoke sendiri, mesti bisa menggunakan uang bank buat digunakan jadi modal dalam segala rupa perniagaan...,” kata Tirto dalam tulisannya Menonton Wayang Priyayi (1909).

Kelak, setelah diambil alih Tjokroaminoto, SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam.

Setahun kemudian, ia diasingkan ke Telukbetung, Lampung, karena mengkritik salah seorang aparatur pemerintah Hindia Belanda terlalu keras. Pengasingan selama dua bulan itu justru mengasah ketajaman pena Tirto.

"...saya seorang pengarang, seorang pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicarakan segala hal yang patut diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak harus menerima sesuatu apa...," kata Tirto dalam esainya yang berjudul Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan (1910).

Belum mendapat keadilan sejarah

Medan Prijaji hanya bertahan sekitar lima tahun. Pada 1912, surat kabar itu menanggung utang yang cukup besar.

Di waktu yang sama, Tirto juga dijatuhi hukuman pembuangan atas tulisannya yang mengkritik Bupati Rembang kala itu.

Pada 1913, Tirto dibuang ke Ambon seorang diri. Sepulangnya dari Ambon pada 1914, ia tak lagi menulis. Ia bangkrut, tak berorganisasi, dan dijauhi teman-temannya.

Tirto tinggal di hotel yang dulu dimilikinya, Hotel Medan Prijaji di Kramat, Jakarta. Saat Tirto dibuang, hotel itu diambil alih temannya, Goenawan, dan diubah namanya menjadi Hotel Samirono.

Nasib sama menimpa Minke dalam seri terakhir Tetralogi Buru, Rumah Kaca. Novel itu menceritakan jatuh bangun Minke mengelola Medan Prijaji.

Pemerintah kolonial khawatir akan pengaruh Minke baik lewat tulisannya, maupun lewat SDI yang makin kuat. Minke dimata-matai, diancam, dijebak, hingga akhirnya diasingkan ke Maluku Utara selama lima tahun.

Sekembalinya dari Maluku ke Batavia, Minke diminta tak lagi aktif berorganisasi. Ia kembali ke hotelnya yang telah dilego ke kawannya, Goenawan.

Tak lama, Minke sakit perut mendadak dan dinyatakan terkena disentri. Ia meninggal dalam perawatan Goenawan, dan dikubur di TPU Karet tanpa seorang pun kenalan yang datang kecuali Goenawan.

Replika R. M. Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers dan persuratkabaran nasional, di Museum Kebangkitan Nasional (Stovia), Jakarta. Tirto adalah tokoh pers yang menerbitkan Medan Prijaji, surat kabar nasional pertama yang mengunakan bahasa melayu.KOMPAS/ LASTI KURNIA Replika R. M. Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers dan persuratkabaran nasional, di Museum Kebangkitan Nasional (Stovia), Jakarta. Tirto adalah tokoh pers yang menerbitkan Medan Prijaji, surat kabar nasional pertama yang mengunakan bahasa melayu.

Begitu pedih Pram menggambarkan kematian Minke di Rumah Kaca.

"Raden Mas Minke telah meninggal. Ia diangkut ke tempat peristirahatan terakhir di Kuburan Karet oleh penggotong-penggotong upahan. Hanya seorang di antara kenalannya yang mengiringkan: Goenawan. Tak ada yang lain."

Fakta tentang Tirto pun demikian. Ia meninggal pada 7 Desember 1918 di usia 38 tahun dalam sunyi. Goenawan menyebut Tirto meninggal di tangannya karena disentri.

Tirto meninggal dalam kondisi depresi. Bangkrut dan sendiri.

Yang membedakan kisah Minke dan Tirto adalah tempat pemakamannya. Minke dikisahkan Pram dikuburkan di Karet, sementara Tirto di Manggadua. Kuburan Tirto kemudian dipindah ke Bogor.

Di antara sedikit catatan yang mengabarkan kematian Tirto, ada satu tulisan yang dimuat surat kabar De Locomotief, Semarang, bertajuk Surat dari Batavia.

“...Sebuah kuburan di Manggadua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, adalah tempat istirahat terakhir pekerja dan jurnalis ini... Harian-harian Pribumi tiada menyinggung lagi tentangnya dan sampailah kemudian ke telinga kami, bahwa orang membisu tentangnya dikarenakan hormat yang mendalam kepadanya lantaran tahun-tahun terakhirnya yang memilukan. Karena Tirto Adhi Soerjo telah menjadi kurban kerja kerasnya sendiri, dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuhnya rusak ingatakan dan takut orang..”

Ditakuti oleh Belanda dan dilupakan dalam sejarah, Tirto meninggal dalam sunyi. Beruntung, ada Pramoedya yang menghidupkan sosok Tirto lewat imajinasinya pada Minke...yang juga meninggal dalam sepi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Bantah 'Main Uang' di Proyek Pulau Rempang, Menteri Bahlil: Kalau Ada, Saya Berhenti Jadi Menteri

Bantah "Main Uang" di Proyek Pulau Rempang, Menteri Bahlil: Kalau Ada, Saya Berhenti Jadi Menteri

Nasional
Mahfud atau Khofifah, Mana Lebih Cocok Dampingi Ganjar Jadi Cawapres?

Mahfud atau Khofifah, Mana Lebih Cocok Dampingi Ganjar Jadi Cawapres?

Nasional
DPR dan Pemerintah Setujui RUU Pelarangan Senjata Nuklir Dibawa ke Rapat Paripurna, Akan Disahkan Jadi UU

DPR dan Pemerintah Setujui RUU Pelarangan Senjata Nuklir Dibawa ke Rapat Paripurna, Akan Disahkan Jadi UU

Nasional
Tanggal 3 Oktober Memperingati Hari Apa?

Tanggal 3 Oktober Memperingati Hari Apa?

Nasional
Politikus PPP Ungkap Mahfud dan Khofifah Sudah Bertemu Megawati

Politikus PPP Ungkap Mahfud dan Khofifah Sudah Bertemu Megawati

Nasional
Laut Indonesia Disebut Punya Banyak “Internal Wave”, Kapal Selam Tak Berani Masuk

Laut Indonesia Disebut Punya Banyak “Internal Wave”, Kapal Selam Tak Berani Masuk

Nasional
Hadapi Ancaman ke Depan, TNI AL Jajaki Pembelian Kapal Selam dan Kembangkan Satelit Militer

Hadapi Ancaman ke Depan, TNI AL Jajaki Pembelian Kapal Selam dan Kembangkan Satelit Militer

Nasional
SBY Bertemu Jokowi di Istana Bogor

SBY Bertemu Jokowi di Istana Bogor

Nasional
KSAL: Idealnya Indonesia Punya 12 Kapal Selam

KSAL: Idealnya Indonesia Punya 12 Kapal Selam

Nasional
Sandiaga Uno Singgung soal Pengorbanan jika Tak Jadi Cawapres Ganjar

Sandiaga Uno Singgung soal Pengorbanan jika Tak Jadi Cawapres Ganjar

Nasional
Geledah Rumah Tersangka Kasus Kementan di Jagakarsa, KPK Amankan Uang Rp 400 Juta

Geledah Rumah Tersangka Kasus Kementan di Jagakarsa, KPK Amankan Uang Rp 400 Juta

Nasional
PSI Ungkap 2 Syarat untuk Beri Dukungan pada Bakal Capres di Pilpres 2024

PSI Ungkap 2 Syarat untuk Beri Dukungan pada Bakal Capres di Pilpres 2024

Nasional
Megawati Sebut Orang Luar Tak Bisa Jadi Ketum, PSI: Itu Kan Internalnya PDI-P, Masing-masing

Megawati Sebut Orang Luar Tak Bisa Jadi Ketum, PSI: Itu Kan Internalnya PDI-P, Masing-masing

Nasional
Soal Megawati Terima Gelar 'Honoris Causa' dari Universitas di Malaysia, Puan Harap Itu Jadi Contoh

Soal Megawati Terima Gelar "Honoris Causa" dari Universitas di Malaysia, Puan Harap Itu Jadi Contoh

Nasional
Kaesang Tak Kunjung Pakai Baju PSI, Apa Alasannya?

Kaesang Tak Kunjung Pakai Baju PSI, Apa Alasannya?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com