KOMPAS.com - 13 Oktober 1965, rumah Pramoedya Ananta Toer di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur dilempari batu oleh segerombolan pemuda.
Pintu rumahnya hancur. Pram yang saat itu sibuk menulis meneriaki mereka. Kakinya terluka kena lemparan batu. Ketika hendak melawan, satu peleton tentara datang mencegah amuk Pram.
"Mari Pak, kita amankan!" kata tentara kepada Pram.
Pram tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya membawa beberapa buku, kotak file, mesin tulis, dan naskah yang harus diselesaikan.
"Saya kira diamankan dari gerombolan pemuda ini. Enggak tahu ditahan 14 tahun," kata Pram seperti dikutip dari buku Pram Melawan (2011).
Seluruh barangnya disita, mulai dari jas hingga jam tangan. Yang paling membuatnya sedih, banyak naskah karangannya dibakar.
Badannya digebuki sampai hampir tak sadarkan diri. Pemukulan yang dialaminya saat itu merusak pendengarannya.
Telinga kirinya luka parah hingga kadang-kadang mengeluarkan darah sampai ia tua.
Pram digelandang dari tahanan Polisi Militer, ke Cipinang, Tangerang, Nusa Kambangan, hingga tahanan di Pulau Buru.
Penangkapan itu menjadi titik penting dalam hidup Pram. Membentuknya menjadi sosok yang keras, penuh kemarahan, dan hasrat perlawanan. Semua itu tertuang dalam tulisannya.
Namun, lebih dari 50 karyanya akhirnya berhasil diterbitkan dan diterjemahkan ke 41 bahasa.
Sejumlah penghargaan internasional diterimanya, yang paling bergengsi dan kontroversial, Magsaysay Award.
Hari ini, karya-karya Pram masih laris dibeli di toko buku dan terus dicetak ulang. Yang terlaris, Bumi Manusia dari Tetralogi Buru, serta Perburuan, akhirnya difilmkan.
Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun dirayakan kini?
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram.