JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Tim Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023, Yenti Garnasih mengatakan, salinan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Pansel Capim KPK menjadi urusan Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg).
Ia mengaku tak tahu menahu tentang persoalan koalisi masyarakat sipil antikorupsi yang mengeluh kesulitan mendapatkan salinan keppres.
"Enggak ngerti (bisa) diakses atau tidak (bisa) diakses saya enggak tahu. Apakah bukan urusan saya, apakah memang keppres yang ditunjukan itu bisa diakses oleh masyarakat umum? Saya juga enggak tahu," kata Yenti saat dikonfirmasi, Minggu (28/7/2019).
Yenti mengatakan, biasanya keppres memang diperuntukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Yenti mengaku mendapatkan salinannya karena sebagai ketua Pansel.
Menurut Yenti, kewenangan untuk memberikan akses salinan Keppres memang berada di Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).
Akan tetapi, menurut dia, harus dilihat secara menyeluruh bagaimana Mensesneg selama ini membuka akses bagi keppres yang ada, bukan hanya keppres soal Pansel Capim KPK.
"Jangan minta diistimewakan," ujar Yenti.
Baca juga: Koalisi Antikoripsi Sulit Dapatkan Keppres Pembentukan Pansel KPK
Yenti mengatakan, salinan soal keppres sama halnya dengan surat tanda kelulusan yang tidak sembarang orang diperbolehkan melihatnya.
"Sama saja misalnya kita punya surat tanda lulus, ada nilainya, terus kita diminta orang (memperlihatkan), ya kan enggak sembarangan kita tunjukkan," kata Yenti.
Koalisi masyarakat sipil antikorupsi sebelumnya mengaku kesulitan mendapatkan salinan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019-2023.
Hal itu diungkapkan salah satu anggota koalisi, Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Minggu (28/7/2019).
"Pada awalnya, kami mengajukan surat permohonan informasi publik ini pada Kementerian Sekretariat Negara," kata Nelson.
"Kami ajukan pada tanggal 10 dan kami minta hanya salinannya. Kami menyampaikan juga bahwa ini bukan termasuk informasi yang dikecualikan dalam konteks hukum informasi publik," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.