Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menikmati Demokrasi

Kompas.com - 29/04/2019, 15:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JIKA berharap pada demokrasi, maka pemilu adalah instrumennya. Mau pemilihan langsung atau model perwakilan ala electoral college di Amerika Serikat, terserah saja. Itu hanya perkara cara menyalurkan hak pilih.

Jika tak pandai memercayai wakil yang diwakilkan ke partai, ya sudah, coblos langsung saja, tak masalah toh. Judul besarnya tetap sama, yakni berdemokrasi.

Atau jika tak bersedia memberikan hak pilih sama sekali, tak masalah juga. Selama bersedia menjadi warga negara yang baik, taat semua aturan, bayar pajak sesuai ketentuan, maka tak perlu takut mengkritik pemerintah kalau layanannya kurang memuaskan.

Toh ikut bayar pajak, ikut bayar ini-itu jika diminta oleh negara, tentu tak salah komplain kalau feedback dari pemungut pajak kurang sesuai.

Jangan teracuni oleh omong kosong "tak ikut memilih tak boleh mengkritik". Negara ini bukan milik pengguna hak suara.

Menggunakan hak suara bukanlah segala-galanya. Apa gunanya jadi pencoblos kalau bayar pajak tak pernah, tapi seenaknya gunakan fasilitas umum yang dibiayai uang pajak.

Apa bagusnya jadi pencoblos kalau ikut merampok hak publik, ingin dapat semuanya secara gratis tetapi bayar pajak tak pernah, misalnya, atau suka merusak fasilitas umum, suka menghina hak orang lain, merendahkan hak orang lain, dan sebagainya. Apa bagusnya coba?

Demokrasi bukan untuk orang-orang yang show off hak politik, tetapi lupa kewajiban-kewajiban lainnya. Hak politik adalah satu hal, menggunakan atau tidak menggunakan hak politik adalah hal lain.

Jadi tidak perlu merasa paling mulia dan paling concern terhadap demokrasi hanya karena merasa telah memilih salah satu calon.

Kembali pada demokrasi tadi, setelah proses coblos-mencoblos selesai, hasilnya tentu perlu diterima secara dewasa. Namun, soal hasil adalah satu soal karena ada soal proses menuju hasil yang menjadi soal lain.

Selama hasilnya terverifikasi demokratis, jujur, adil, sesuai aturan main yang ada, tak terbukti dibangun di atas langkah-langkah yang curang, maka hasilnya harus ditelan secara arif oleh semua pihak.

Di sisi lain, demokrasi tak mungkin berdiri tegar jika bukan dibangun di atas landasan hukum yang adil (rule of law). Semua kecurangan yang terbukti harus diganjar sesuai aturan yang ada.

Jika ada pelanggaran, ada mekanisme hukumnya. Jika terbukti, maka hukuman harus diberikan secara pasti, bukan secara tentatif. Jika tidak terbukti, maka hukum pun harus melindunginya.

Sampai pada titik ini, kita semestinya paham, mana ranah politik dan mana ranah kepastian hukum dan penegakan hukum.

Hasil quick count adalah ranah politik. Angkanya terserah mekanisme quick count beserta justifikasi-justifikasi ilmiahnya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com