Pun soal deklarasi-deklarasian kemenangan, itu pun masih di ranah politik. Mau deklarasi kemenangan atas angka quick count atau angka yang diaku riil, tak ada yang melarang, semuanya masih dalam ranah pertarungan politik, bukan ranah kepastian hukum.
Hasil perhitungan final Komisi Pemilihan Umum sejatinya sebagai penentu, bukan hasil perhitungan lembaga survei atau tim sukses salah satu kandidat.
Dengan kata lain, dalam perspektif hukum, belum ada pemenang sampai detik ini.
Proses pencoblosan memang sudah usai, perhitungannya belum kelar. Ada jeda waktu karena prosesnya memang membutuhkan waktu dan langkah-langkah yang rumit.
Tentu dalam perspektif konspiratif ada celah untuk kecurangan. Selama prosesnya transparan, tentu publik bisa memantau. Pun selama data faktual tak berubah, tentu hasilnya bisa diverifikasi.
Artinya, selama data asli pencoblosan tidak berubah, sekalipun data digital diutak-atik, maka pada ujungnya saat dilakukan verifikasi evaluatif, akan katahuan juga.
Namun, kalau data aslinya diganti, diutak-atik berdasarkan kepentingan pihak tertentu, maka saat itulah kedaulatan rakyat telah disunat.
Artinya, proses perpindahan data asli dari satu titik ke titik lain harus benar-benar bisa diamati dan diverifikasi publik.
Setiap pergerakan data asli dari titik awal sampai ke titik akhir sejatinya harus bisa dikawal dan dinilai langsung.
Dengan lain perkataan, selain memiliki anggota KPU yang dalam otaknya hanya ada "pemilihan yang demokratis, jujur, adil, dan berdasarkan aturan yang ada", setiap detail prosesnya pun harus bisa diukur dengan parameter-parameter demokratis, jujur, adil, dan berdasar aturan hukum yang ada.
Jadi proses demokrasi tidak saja terkait sumber-sumber daya manusia pelaksana, tetapi juga sistem yang menaunginya.
Pada tataran sumber daya manusia (SDM), rata-rata memang nyaris mengalami rejimentasi. Seberapa pun independen pihak KPU menyatakan posisinya, seleksi awal tetap terintervensi oleh penguasa.
Sebelum daftar calon anggota KPU digelontorkan di lantai Senayan, pihak Istana melakukan pemangkasan terlebih dahulu. SDM-SDM yang dianggap akan merusak irama politik Istana tentu akan selesai nasibnya saat itu, sebelum dikondisikan di Gedung DPR.
Kendati demikian, memang begitulah risiko politik dari sebuah proses seleksi. Penyeleksinya ditentukan penguasa, hasilnya pun tentu tak lepas dari kepentingan penguasa pula.
Sementara itu, perkara ekosistemnya dipengaruhi oleh banyak variabel. Mulai dari konfigurasi politik domestik, intervensi kepentingan internasional terkait dengan aktualisasi demokrasi, netralitas penegak hukum, daya tawar masyarakat sipil, dan banyak lagi.