Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/04/2019, 16:12 WIB
Drs Hendrawarman Nasution MBA,
M Latief

Tim Redaksi

"Apa maksud Bung?" tanya saya.

Ia mengangkat cangkir kopi dan meneguknya dua kali sebelum menjawab.

"Kalau suatu undang-undang dibuat dengan maksud untuk menguntungkan suatu ras, golongan, agama atau semacamnya sementara menindas yang lain, maka undang-undang tersebut akan merasakan bangkitnya penolakan yang berkepanjangan," katanya.

"Yang pertama dan utama dari semua itu adalah seberapa rimbun tumbuh kembangnya pohon kenegarawanan di relung hati dan perilaku para politisinya," tambahnya.

"Coba kau lihat konstitusi kita. Kami tidak pernah menorehkan satu ayat pun untuk maksud-maksud tersembunyi yang menguntungkan suatu golongan, ras, agama, baik mayoritas maupun minoritas," katanya terlihat geram.

"Itu karena kami memiliki kehendak bersama untuk membentuk suatu negara merdeka yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia untuk waktu yang tak berbatas," jelasnya lebih jauh.

Bung Besar ini memang sudah berbicara soal peredaan ketegangan antara pilar-pilar kekuatan pergerakan kebangsaan Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Kala itu pun bukan masa yang mudah, saling tuding dan curiga antar tiga kekuatan besar Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme terlihat jelas.

Ya, bahkan beberapa kali terlibat benturan fisik. Semua itu menggelitik rasa ingin tahu saya tentang resep kebangsaan Bung Besar ini.

Seolah mengerti keingintahuan saya, dia lalu mengatakan sesuatu.

"Dik, aku bukan Tuhan. Aku pun tidak punya resep mujarab yang dapat menyatukan bangsa kita, karena tiap generasi mempunyai tuntutannya sendiri-sendiri. Yang aku yakini, bahwa kehendak bersama yang ada di hati setiap anak bangsa itulah perekat utamanya. Perekat ini akan selalu ada dalam diri individu manapun selama harapannya terlindungi dan terpenuhi karena itulah hakekat mahluk sosial. Sebaliknya, penjara dan senjata apapun tidak akan pernah bisa menahan laju perpecahan suatu bangsa yang telah kehilangan kehendak bersama," ucapnya.

Diseruputnya kopi buatan saya. Dia lalu melanjutkan ucapannya.

"Coba kau renungkan Pancasila yang kita miliki. Tak ada satupun negara yang memiliki filosofi seindah itu. Tugas kita bukan untuk menghafal sila-sila tersebut, tapi untuk memikirkan cara terbaik mencapainya sehingga kehendak bersama itu terpelihara."

Mendengar penjelasan Bung Besar yang sangat sederhana itu, saya hanya tertunduk malu. Merasa benar walau sebenarnya salah besar, seperti mencari kunci yang jatuh di dapur tapi saya mencarinya di di halaman.

Namun, rasa malu ini tak berlangsung lama, karena anak saya menarik-narik hidung saya agar bangun dari tidur siang yang aneh itu. Yang tak kurang anehnya, saya temukan kembali sobekan artikel Bung Besar yang selama ini hilang tercecer dari buku utamanya. Isinya seperti pesan tersendiri dari Bung Besar sebagai berikut:

Tulisan kita hampir habis. Dengan djalan jang jauh kurang sempurna, kita mentjoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri djadjahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan djalan jang djauh kurang sempurna kita menundjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri. Tetapi kita jakin, bahwa kita dengan terang-benderang menundjukkan kemauan kita mendjadi satu. Kita jakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanja insjaf, bahwa Persatuanlah jang  membawa kita kearah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita jakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mentjotjoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menundjukkan bahwa Persatuan itu bisa tertjapai. Sekarang tinggal menetapkan sahadja organisasinja, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mentjari organisatornja sahadja, jang mendjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, jang mempunjai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, -apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunjai pula Putera jang bisa mendjadi Kampiun Persatuan itu?

Kita harus bisa menerima; tetapi kita djuga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terdjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.

Dan djikalau kita semua insjaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknja tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; djikalau kita semua insjaf, bahwa dalam pertjerai-beraian itu letaknja benih perbudakan kita; djikalau kita semua insjaf, bahwa permusuhan itulah jang mendjadi asal kita punja "via dolorosa"; djikalau kita insjaf, bahwa roch rakjat kita masih penuh kekuatan untuk mendjundjung diri menudju sinar jang satu, jang berada ditengah-tengah kegelapan-gempita jang mengelilingi kita ini,-maka pastilah persatuan itu terdjadi, dan pastilah Sinar itu tertjapai djuga. Sebab Sinar itu dekat!

"Suluh Indonesia Muda", 1926

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com