Salin Artikel

Mimpi...

Dibandingkan dengan 93 tahun lalu, ketika Bung Karno melempar gagasan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, kita meyakini bahwa saat inilah kata "via dolorosa" menemukan momentumnya.

Peradaban kebangsaan kita sedang mengusung kehancuran dan menggali kuburnya sendiri. Pasak pilar-pilar struktur sosial mulai goyah dan merenggang, sistem kekerabatan bergerak menjauh dengan tidak mendengar kata hati selain cost and benefit.

Rasanya, pergeseran platform yang terus berlanjut selama 5 tahun terakhir ini tidak menyemai satu pun buih kenegarawanan yang tampil untuk merekat retaknya cangkang kebangsaan.

Tentunya, kita semua berharap, semoga besok, Rabu (17/4/2019), kita tidak merayakan kemenangan satu kontestan yang ber-selfie sambil meletakkan kakinya di atas kepala kontestan lainnya yang memiliki voter lebih sedikit.

Semoga, sebelum hari itu tiba, para begawan kebangsaan sudah bermunculan, turun dari menara gadingnya, menjadi penyejuk medan laga.

Di sisi lain, kita juga berharap semoga para kontestan menyadari ringkihnya kehidupan kebangsaan ini dan cepat mencopot topeng politisi parsial, mengganti dengan sikap arif bijaksananya seorang negarawan.

Masih berusaha konsentrasi untuk berpikir, tapi tak mampu menganalisa fenomena politik yang terjadi, begitu terkejutnya ketika tangan seorang menepuk pundak saya. 

"Jangan berhenti berpikir, karena dalam pikir itulah ada keberadaanmu," ujar orang itu dengan suara lembut namun penuh kewibawaan.

Saya menengok ke arah orang yang menepuk, dan bertanya dalam hati, "Siapa dia? Rasanya saya pernah mengenal orang ini," sambil menerka-nerka dalam hati.

Dia seperti sosok seorang negarawan masa lalu yang memiliki segudang ide menginspirasi pikiran banyak orang. Bersyukur saya memiliki sebagian besar dan berulang kali membaca buku-bukunya yang selalu padat dengan kesempurnaan retorika dan inspirasi yang meletupkan semangat.

Menurut saya, dia adalah negarawan berwajah paling tampan yang memiliki sepasang tatapan mata tajam, kejam dan cerdas dengan sisiran rambut bergaya klasik. Ketika berhasil memastikan identitasnya, saya berkata dalam hati. "Masya Allah, tapi bagaimana mungkin dia?".

Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, saya memberanikan diri memastikan siapa orang itu.

"Bapak, mirip sekali dengan..," tanya saya, tapi terpotong dengan jawabannya yang cepat.

"Ya…aku Sukarno," katanya memotong keraguan saya, tapi tetap dengan suara berat dan berwibawa.

"Akulah Bung Karno-mu…," tambahnya.

Mendengar jawabannya, saya seperti mendapat gaung vibrasi yang merambat ke seluruh tubuh. Saya lantas berdiri dan meraih tangan beliau untuk memberi salam dan mencium tangannya sebagai tanda hormat.

Tapi, lidah saya seketika kelu. Otak saya tak mampu berpikir, apalagi menyusun kalimat untuk memulai pembicaraan. Semua seolah mati rasa.

Namun, di sisi lain, hingga tulisan legendaris ini berakhir, kita tak menemukan satu formula pun atau kerangka berpikir untuk mencapai ide besar tersebut.

Seolah mengerti dengan sikap serba salah saya, dia mulai mencairkan ketegangan.

"Ada apa, dik? " ujarnya membuka pembicaraan.

"Sepertinya, pikiranmu amat terbebani masalah yang bukan milikmu," katanya lagi.

Dia melanjutkan, "Kegalauan hati dan pikiranmu menjadi getar penghubung yang membangunkan tidur abadiku. Ceritakan padaku agar semua galaumu pergi," katanya sambil menatapku dengan tajam.

Dengan memuji nama Allah SWT, kurapal rasa syukur atas pertemuan ini. Saya yakin, hanya dengan izin-Nya semua ini dapat terjadi.

Dengan semangat namun perlahan, saya ceritakan kegalauan hati dan pikiran saya tentang ancaman perpecahan bangsa dan pudarnya rasa nasionalisme yang dibangun para founding fathers negara ini.

Saya ceritakan pula semua kekacauan yang berawal dari keinginan para politisi untuk membuat pagar presidential threshold sebesar 20 persen dari jumlah perolehan kursi di DPR-RI.

Saya bahkan katakan, bahwa mereka berdalih bahwa, bila pembatasan ini tidak dilakukan maka pelaksanaan pemilu akan berpotensi menimbulkan kekacauan politik, karena setiap partai berhak untuk mengusung calon presidennya. Walau sesungguhnya, rakyat tahu, bahwa semua upaya tersebut bermaksud hanya untuk melindungi dan mempertahankan kekuasaan mereka.

"Syahwat kuasa telah menciptakan intoleransi terhadap partai-partai kecil dengan mengkebiri harsrat untuk mencalonkan pasangan presidennya dan memaksa mereka untuk bergabung dengan partai yang memiliki suara potensial demi melewati batas ambang," kata saya untuk mendudukkan masalah.

"Akibatnya,kebijakan ini menyebabkan lahirnya dua poros kepentingan yang saling berlawanan dan berhadapan satu sama lain. Ini melahirkan antagonisme akut." jelas saya

Saya pun menegaskan, "Bahkan, anak Bung pun menjadi salah seorang pemimpin dan kontributor fenomena politik yang menyedihkan ini. Andai saja anak Bung memerintahkan petugas partainya untuk menerbitkan perpu yang menghapus dan mengganti undang-undang tersebut dengan yang lebih bijak, maka masalah kebangsaan ini sudah selesai," ucap saya.

"Semua ini hanya soal syahwat kekuasaan," kata saya agak bernada tinggi.

Aku bukan Tuhan

Bung Besar menerima kopi yang saya buatkan. Namun, dari mimik mukanya tersirat luka dalam setelah mendengar uraian saya.

Dia menarik nafas dengan dalam dan dihembuskannya dengan keras. Kemudian, ucapannya memecah hening.

"Kau tahu, dik, cerita seperti ini akan terus berulang di setiap ruang dan waktu selama negara itu tidak mempunyai sistem yang kuat dan dicintai semua pihak".

"Agar dapat dicintai semua pihak, sistem tersebut haruslah berkeadilan. Menguntungkan semua komponen dan elemen bangsa," katanya lagi.

Tak mengerti arti ucapannya, saya berusaha menggali lebih dalam lagi.

"Apa maksud Bung?" tanya saya.

Ia mengangkat cangkir kopi dan meneguknya dua kali sebelum menjawab.

"Kalau suatu undang-undang dibuat dengan maksud untuk menguntungkan suatu ras, golongan, agama atau semacamnya sementara menindas yang lain, maka undang-undang tersebut akan merasakan bangkitnya penolakan yang berkepanjangan," katanya.

"Yang pertama dan utama dari semua itu adalah seberapa rimbun tumbuh kembangnya pohon kenegarawanan di relung hati dan perilaku para politisinya," tambahnya.

"Coba kau lihat konstitusi kita. Kami tidak pernah menorehkan satu ayat pun untuk maksud-maksud tersembunyi yang menguntungkan suatu golongan, ras, agama, baik mayoritas maupun minoritas," katanya terlihat geram.

"Itu karena kami memiliki kehendak bersama untuk membentuk suatu negara merdeka yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia untuk waktu yang tak berbatas," jelasnya lebih jauh.

Bung Besar ini memang sudah berbicara soal peredaan ketegangan antara pilar-pilar kekuatan pergerakan kebangsaan Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Kala itu pun bukan masa yang mudah, saling tuding dan curiga antar tiga kekuatan besar Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme terlihat jelas.

Ya, bahkan beberapa kali terlibat benturan fisik. Semua itu menggelitik rasa ingin tahu saya tentang resep kebangsaan Bung Besar ini.

Seolah mengerti keingintahuan saya, dia lalu mengatakan sesuatu.

"Dik, aku bukan Tuhan. Aku pun tidak punya resep mujarab yang dapat menyatukan bangsa kita, karena tiap generasi mempunyai tuntutannya sendiri-sendiri. Yang aku yakini, bahwa kehendak bersama yang ada di hati setiap anak bangsa itulah perekat utamanya. Perekat ini akan selalu ada dalam diri individu manapun selama harapannya terlindungi dan terpenuhi karena itulah hakekat mahluk sosial. Sebaliknya, penjara dan senjata apapun tidak akan pernah bisa menahan laju perpecahan suatu bangsa yang telah kehilangan kehendak bersama," ucapnya.

Diseruputnya kopi buatan saya. Dia lalu melanjutkan ucapannya.

"Coba kau renungkan Pancasila yang kita miliki. Tak ada satupun negara yang memiliki filosofi seindah itu. Tugas kita bukan untuk menghafal sila-sila tersebut, tapi untuk memikirkan cara terbaik mencapainya sehingga kehendak bersama itu terpelihara."

Mendengar penjelasan Bung Besar yang sangat sederhana itu, saya hanya tertunduk malu. Merasa benar walau sebenarnya salah besar, seperti mencari kunci yang jatuh di dapur tapi saya mencarinya di di halaman.

Namun, rasa malu ini tak berlangsung lama, karena anak saya menarik-narik hidung saya agar bangun dari tidur siang yang aneh itu. Yang tak kurang anehnya, saya temukan kembali sobekan artikel Bung Besar yang selama ini hilang tercecer dari buku utamanya. Isinya seperti pesan tersendiri dari Bung Besar sebagai berikut:

Tulisan kita hampir habis. Dengan djalan jang jauh kurang sempurna, kita mentjoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri djadjahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan djalan jang djauh kurang sempurna kita menundjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri. Tetapi kita jakin, bahwa kita dengan terang-benderang menundjukkan kemauan kita mendjadi satu. Kita jakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanja insjaf, bahwa Persatuanlah jang  membawa kita kearah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita jakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mentjotjoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menundjukkan bahwa Persatuan itu bisa tertjapai. Sekarang tinggal menetapkan sahadja organisasinja, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mentjari organisatornja sahadja, jang mendjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, jang mempunjai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, -apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunjai pula Putera jang bisa mendjadi Kampiun Persatuan itu?

Kita harus bisa menerima; tetapi kita djuga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terdjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.

Dan djikalau kita semua insjaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknja tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; djikalau kita semua insjaf, bahwa dalam pertjerai-beraian itu letaknja benih perbudakan kita; djikalau kita semua insjaf, bahwa permusuhan itulah jang mendjadi asal kita punja "via dolorosa"; djikalau kita insjaf, bahwa roch rakjat kita masih penuh kekuatan untuk mendjundjung diri menudju sinar jang satu, jang berada ditengah-tengah kegelapan-gempita jang mengelilingi kita ini,-maka pastilah persatuan itu terdjadi, dan pastilah Sinar itu tertjapai djuga. Sebab Sinar itu dekat!

"Suluh Indonesia Muda", 1926

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/16/16124881/mimpi

Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke