Namun, di sisi lain, hingga tulisan legendaris ini berakhir, kita tak menemukan satu formula pun atau kerangka berpikir untuk mencapai ide besar tersebut.
Seolah mengerti dengan sikap serba salah saya, dia mulai mencairkan ketegangan.
"Ada apa, dik? " ujarnya membuka pembicaraan.
"Sepertinya, pikiranmu amat terbebani masalah yang bukan milikmu," katanya lagi.
Dia melanjutkan, "Kegalauan hati dan pikiranmu menjadi getar penghubung yang membangunkan tidur abadiku. Ceritakan padaku agar semua galaumu pergi," katanya sambil menatapku dengan tajam.
Dengan memuji nama Allah SWT, kurapal rasa syukur atas pertemuan ini. Saya yakin, hanya dengan izin-Nya semua ini dapat terjadi.
Dengan semangat namun perlahan, saya ceritakan kegalauan hati dan pikiran saya tentang ancaman perpecahan bangsa dan pudarnya rasa nasionalisme yang dibangun para founding fathers negara ini.
Saya ceritakan pula semua kekacauan yang berawal dari keinginan para politisi untuk membuat pagar presidential threshold sebesar 20 persen dari jumlah perolehan kursi di DPR-RI.
Saya bahkan katakan, bahwa mereka berdalih bahwa, bila pembatasan ini tidak dilakukan maka pelaksanaan pemilu akan berpotensi menimbulkan kekacauan politik, karena setiap partai berhak untuk mengusung calon presidennya. Walau sesungguhnya, rakyat tahu, bahwa semua upaya tersebut bermaksud hanya untuk melindungi dan mempertahankan kekuasaan mereka.
"Syahwat kuasa telah menciptakan intoleransi terhadap partai-partai kecil dengan mengkebiri harsrat untuk mencalonkan pasangan presidennya dan memaksa mereka untuk bergabung dengan partai yang memiliki suara potensial demi melewati batas ambang," kata saya untuk mendudukkan masalah.
"Akibatnya,kebijakan ini menyebabkan lahirnya dua poros kepentingan yang saling berlawanan dan berhadapan satu sama lain. Ini melahirkan antagonisme akut." jelas saya
Saya pun menegaskan, "Bahkan, anak Bung pun menjadi salah seorang pemimpin dan kontributor fenomena politik yang menyedihkan ini. Andai saja anak Bung memerintahkan petugas partainya untuk menerbitkan perpu yang menghapus dan mengganti undang-undang tersebut dengan yang lebih bijak, maka masalah kebangsaan ini sudah selesai," ucap saya.
"Semua ini hanya soal syahwat kekuasaan," kata saya agak bernada tinggi.
Aku bukan Tuhan
Bung Besar menerima kopi yang saya buatkan. Namun, dari mimik mukanya tersirat luka dalam setelah mendengar uraian saya.
Dia menarik nafas dengan dalam dan dihembuskannya dengan keras. Kemudian, ucapannya memecah hening.
"Kau tahu, dik, cerita seperti ini akan terus berulang di setiap ruang dan waktu selama negara itu tidak mempunyai sistem yang kuat dan dicintai semua pihak".
"Agar dapat dicintai semua pihak, sistem tersebut haruslah berkeadilan. Menguntungkan semua komponen dan elemen bangsa," katanya lagi.
Tak mengerti arti ucapannya, saya berusaha menggali lebih dalam lagi.