Dalam sistem demokrasi, yang memegang kedaulatan negara adalah individu-individu dari setiap warga negara.
Mereka mempunyai kebebasan untuk berpendapat dan hak ikut menentukan arah negara. Apalagi dalam demokrasi langsung, warga negara bisa memilih menentukan siapa yang akan menjadi presidennya.
Dalam kontestasi politik, seperti pemilihan presiden, kebebasan dan hak berpendapat sering disalahgunakan oleh orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri untuk menghasut masyarakat dengan menyebarkan berita-berita bohong.
Penyebaran berita bohong dimaksudkan sebagai cara untuk menghegemoni masyarakat guna memperoleh suara.
Menjelang pilpres maupun pemilihan kepala daerah, banyak berita bohong tersebar di media sosial.
Tindakan seperti ini merupakan cara yang tidak mendidik dan bisa menjadi sumber konflik horisontal. Apalagi jika berita bohong tersebut menggunakan isu yang sangat sensitif, seperti agama yang bisa menimbulkan konflik horizontal.
Banyaknya hoaks dalam kontestasi politik menjelang pilpres merupakan bukti bahwa kebebasan yang tidak disertai dengan tanggung jawab untuk kepentingan bangsa dan negara bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Ryamur Lipset telah mengingatkan bahwa demokrasi yang baik membutuhkan prasyarat. Salah satu di antaranya adalah warga negara yang cerdas dan kondisi ekonomi yang baik.
Apa yang disampaikan Lipset tersebut bisa dimaklumi. Karena, jika warga negara tidak cerdas akan mudah dihegemoni dengan berita-berita bohong. Masyarakat digiring untuk memilih calon tertentu sesuai keinginan si pembuat hoaks.
Selain itu, kemiskinan juga dapat menjadikan seseorang bersikap pragmatis karena hanya berpikir untuk hari ini, sehingga mudah terpapar politik uang.
Politik uang sendiri dipicu oleh sikap pragmatis dan ketidakpahaman warga negara tentang demokrasi. Sebagai pemegang kedaulatan, sebagian warga negara justru menjual suaranya untuk kepentingan sesaat.
Dengan dalih memilih merupakan hak, warga menjual suaranya dan para elite politik harus membeli suara tersebut untuk menjadi wakil rakyat.
Sikap pragmatis dan pemahaman bahwa memilih merupakan hak sebagai salah satu sebab tingginya angka korupsi di Indonesia. Para elite politik harus menyediakan banyak uang untuk membeli suara rakyat.
Jual beli suara pada gilirannya akan mendorong para politisi melakukan korupsi. Banyaknya elite politik yang terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan indikator bahwa demokrasi membutuhkan biaya mahal. Korupsi bukan semata-mata untuk memperkaya diri, tetapi karena untuk membeli suara.
Jual beli suara merupakan disfungsional sistem demokrasi. Robert Merton menyatakan bahwa setiap sistem bersifat fungsional dan disfungsional.