Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Kritik Paradigma Lama Penyelenggara Negara dalam Pelaporan Harta Kekayaan

Kompas.com - 14/04/2019, 14:12 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengungkapkan, masih ada paradigma lama yang melekat pada penyelenggara negara dalam mengurus laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

"Terlihat sekarang dalam beberapa pemberitaan, KPK seperti meminta kepada penyelenggara negara ayo dong lapor LHKPN kepada kita. Nah ini kan sebenernya paradigma yang salah seharusnya setiap penyelenggara negara yang mana dia bertindak berdasarkan undang-undang dan LHKPN sudah diatur di undang-undang seharusnya itu dijadikan kewajiban hukum," kata Kurnia di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (14/4/2019).

Menurut dia, penyelenggara negara sudah sepatutnya patuh dan aktif dalam melaporkan harta kekayaannya. Sebab, pelaporan kekayaan merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara ke publik.

Baca juga: Ketua DPRD DKI: Dibilang Tak Satu Pun Laporkan LHKPN? Itu Tak Benar!

Kurnia menegaskan, kewajiban pelaporan harta kekayaan merupakan amanat Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selain itu, landasan pelaporan LHKPN juga sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016.

"Akan tetapi ada persoalan penting sebenernya sudah menjadi legal culture di indonesia bahwa setiap orang akan tunduk pada satu peraturan jika peraturan itu mengatur lebih jauh tentang sanksi yang tegas," kata dia.

Kurnia belum melihat adanya sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tak mengurus LHKPN. Menurut dia, sanksi yang ada saat ini masih bersifat administratif.

Dari sanksi administratif, Kurnia berharap pimpinan berbagai instansi bertindak tegas, seperti menunda setoran gaji, promosi jabatan hingga pemecatan.

Di sisi lain, Kurnia menyoroti perlunya aturan lebih lanjut soal sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tak bisa mempertanggungjawabkan hasil kekayaannya. Hal itu bisa dilakukan lewat kerja sama antara pemerintah pusat dan DPR.

Menurut Kurnia, diskursus sanksi pidana bagi penyelenggara negara yang tidak jujur dalam pelaporan kekayaannya sudah muncul sejak keberadaan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003.

Baca juga: ICW Tekankan Pentingnya Sanksi Tegas bagi Penyelenggara Negara yang Tak Urus LHKPN

"Itu sebenernya sudah mengatur tentang pemidanaan yang dengan isilah hukum disebut illicit enrichment, ada peningkatan harta kekayaan tidak wajar, maka harus bisa dibuktikan oleh penyelenggara negara. Jika tidak bisa dibuktikan, maka harta itu bisa dirampas oleh negara," katanya.

"Misalnya ada peningkatan laporan kekayaan yang signifikan dan mencurigakan, maka penegak hukum bisa menyeret orang itu ke persidangan untuk membuktikan apakah peningkatan harta kekayaan itu diperoleh secara sah atau tidak. Ini menjadi perdebatan panjang terkait tidak adanya sanksi tegas yang diatur negara," kata dia.

Kompas TV Berikut laporan harta kekayaan capres-cawapres 2019 yang dikeluarkan oleh KPK. #LHKPN #caprescawapres2019
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com