BANGKRUTNYA Negara Islam di Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syiria atau ISIS) ternyata menyisakan masalah besar dan kisah pilu yang menyayat. Ada tantangan "jihad kemanusiaan", termasuk bagi Indonesia.
Kekalahan ISIS dibarengi dengan derita kemanusiaan yang luar biasa di kawasan Suriah dan Irak, dua negara yang menjadi area utama pertempuran kelompok ini.
Baca juga: Akhirnya, ISIS Dinyatakan Kalah
Penderitaan juga dirasakan negeri-negeri lain yang merasakan dampak "ilusi negara Islam" yang dikampanyekan ISIS. Selain itu, penanganan eks-pasukan dan mereka yang sempat tergiur propaganda ISIS, menjadi tantangan pula bagi beberapa negara.
Kisah-kisah kelam bermunculan, mengungkap betapa jargon sekaligus kampanye menggiurkan yang disiarkan ISIS serta jaringannya hanyalah tipuan belaka.
Orang-orang yang silau dengan surga dunia tawaran Abu Bakar el-Baghdadi, Abu Musab al-Zarqawi, dan ideolog-ideolog ISIS, kini menyesali nasib.
Ilusi dan propaganda surga dunia yang ditawarkan ISIS, dengan penyebaran massif melalui media sosial dan jaringan pengikutnya, ternyata menggaet puluhan orang dari seluruh dunia.
Laporan International Centre for Study of Radicalisation pada 2018 mengungkap, lebih dari 40.000 orang dari 80 negara ditengarai terafiliasi dengan jaringan ISIS.
Kebangkrutan ISIS dipenuhi kisah-kisah sedih orang-orang yang terperangkap dalam jebakan ilusi dan propaganda surga yang ditawarkan jaringan Abu Bakar el-Baghdadi dan barisan militernya. Dari orang Indonesia sampai warga Eropa ada pula di antar mereka.
Salah satu orang Indonesia yang menjadi korban ISIS adalah Nur Dhania, yang bergabung dengan ISIS pada 2014. Ini seharusnya menjadi kisah getir sekaligus pelajaran bagi kita semua.
Baca juga: Pengantin ISIS Shamima Ungkap Saat Dia Bangun dan Melihat Bayinya Membiru
Bagaimana tidak? Pada usia 15 tahun, Nur Dhania membujuk keluarganya untuk berangkat ke Suriah, bergabung ke barisan kelompok ISIS. Ia mengaku sebagai anak manja, keras kepala, yang terpengaruh propaganda ISIS melalui media sosial dan jejaring komunikasi digital.
Ia membayangkan "surga" di kawasan ISIS. Terlebih lagi, pada 2014 itu ISIS sedang gencar-gencarnya menguasai kawasan Suriah.
Tertarik dengan kampanye ISIS, Nur Dhania mengajak keluarga besarnya berangkat ke Suriah dengan mempertaruhkan harta dan nyawa. Ayahnya sampai keluar dari pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Batam dan menjual rumah untuk ongkos perjalanan ke Suriah.
Tak tanggung-tanggung, 25 orang anggota keluarga ini—termasuk saudara—berangkat ke Suriah. Namun, kenyataan yang ditemukan di Suriah jauh panggang dari api, bertolak belakang dengan segala propaganda yang dia dapat dan yakini sebelumnya.
Mendengar ISIS untuk pertama kalinya dari sang paman—yang sekarang dipenjara karena kasus terorisme—, Nur Dhania dan keluarga besarnya tiba di Suriah pada 2015. Apa yang dia saksikan di area pertempuran ISIS benar-benar mengejutkannya.
Tak hanya mendapati pemandangan jauh berbeda dengan ilusi-ilusi buah propaganda, Nur Dhania harus kehilangan nenek dan sejumlah saudaranya yang meninggal di tengah kecamuk perang.
Di tengah keterkejutan dan kesedihan, Nur Dhania dan beberapa saudaranya yang masih hidup berusaha kabur dari kawasan ISIS. Mereka berhasil keluar dari kawasan ISIS, meratapi nasib di kamp pengungsian PBB, dan kemudian pulang ke Indonesia.
Baca juga: Shamima Begum: Saya Dicuci Otak oleh ISIS
Kisah serupa dialami Shamima Begum. Namun, kisahnya lebih tragis. Sama-sama tertipu propaganda ISIS, Dhania masih bisa pulang ke Indonesia, sementara Shamima ditolak masuk kembali ke Inggris, asal kewarganegaraannya.
Usia Shamima Begum juga masih 15 tahun ketika memutuskan berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Bersama Amira Abase dan Kadiza Sultana, dua kawannya, Shamima nekat lari dari rumah, terbang ke Turki dan berlanjut ke Suriah, lagi-lagi karena tergiur propaganda ISIS.
Di Suriah, Shamima Begum terperanjat dengan kehidupan yang ditawarkan ISIS. Ia masih di usia labil ketika datang ke Suriah, lalu menikah dengan Yago Riedijk, pemuda berkebangsaan Belanda yang sama-sama terjerat kampanye khilafah ISIS.
Shamima Begum menghabiskan masa remaja dalam kemelut perang, siang-malam dalam kamp ISIS. Ia melahirkan anak pertama dan kedua di tengah desing peluru dan pertarungan mereka yang terlena dengan propaganda ISIS.
Dua anak Shamima tewas di tengah situasi perang. Saat hamil anak ketiga, Shamima Begum berusaha pulang kembali ke Inggris. Media massa dan lembaga-lembaga kemanusiaan, berdebat tentang kondisi Shamima.
Sejumlah forum diskusi di beberapa kampus di Inggris yang saya ikuti, juga membahas perdebatan ini. Ada yang mendukung, ada pula yang khawatir. Namun, Pemerintah Inggris yang diwakili Sajid Javid menyatakan menolak Shamima pulang.
Nasib Shamima pun lalu menggantung. Putra ketiganya yang lahir pada masa ketidakpastian ini pun akhirnya meninggal juga saat baru tiga minggu bernapas.
Sampai tulisan ini dibuat, nasib Shamima Begum masih terlunta. Pendapat publik Inggris terbelah di tengah perbincangan tentangnya.
Seusai keruntuhan ISIS, rehabilitasi eks-kombatan serta perempuan dan anak-anak yang hidup di tengah keriuhan perang ini menjadi masalah besar bagi banyak negara.
Tidak semua negara memiliki peraturan perundangan dan sistem hukum yang komprehensif mengenai hal ini. Kondisi tersebut menjadi isu kemanusiaan yang antara lain terkait dengan geopolitik, kewarganegaraan, dan program deradikalisasi menyeluruh.
Baca juga: Ribuan Anggota ISIS dari 54 Negara yang Ditahan SDF Kini Bak Bom Waktu
Dari data yang dihimpun Kemenhan RI, dari puluhan ribu orang yang bergabung dengan ISIS di kawasan Irak dan Suriah, terdapat sekitar 800 orang dari negara-negara Asia Tenggara dan 700 warga Indonesia. Ini bukan jumlah yang sedikit, mengingat dampak panjang penyebaran ideologi radikal ala ISIS.
Indonesia menjadi salah satu negara yang harus berhadapan dengan tantangan mengenai nasib warga negara yang sempat bergabung dengan ISIS. Tantangan ini termasuk harus pula mencari cara "menangani" mereka secara manusiawi bila kembali ke sini. Tak hanya bagi pemerintah, tantangan yang sama juga harus dihadapi seluruh warga Indonesia.
Karena, sejatinya orang-orang tersebut tetap adalah warga negara Indonesia (WNI) yang berhak mendapat jaminan hukum dan hak sebagai WNI. Yang dibutuhkan adalah langkah komprehensif untuk menjernihkan cara pandang, pola interaksi, dan visi keindonesiaan mereka, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan warga di sekitarnya.
Baca juga: Puluhan WNI Ditemukan di Kamp Penampung Mantan Anggota ISIS di Suriah
Perlu ada "jihad kemanusiaan" untuk menerima kembali WNI yang pernah tersesat di jalur ISIS, sekaligus mengembalikan kesadaran betapa menjadi bagian dari Indonesia merupakan kenikmatan berharga. Yang untuk itu mereka perlu ikut menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perempuan dan ibu-ibu eks-ISIS perlu mendapat sentuhan keterampilan, agar mereka kembali tumbuh berkembang di rahim ibu pertiwi, dan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang ramah serta layak. Program pesantren bagi anak-anak eks-anggota ISIS dengan program deradikalisasi dapat menjadi alternatif, daripada mereka terkungkung dalam sistem pendidikan yang kaku dan formal.
Kita membutuhkan energi cinta kasih dan jihad kemanusiaan yang sejati, untuk dapat dan mampu mengindonesiakan kembali mereka yang sebelumnya sempat tersesat dalam ilusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.