Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mitigasi Bencana di Tahun 2019 Diharap Lebih Efisien dan Efektif

Kompas.com - 10/01/2019, 14:30 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Ombudsman RI Alvin Lie, berharap mitigasi bencana di tahun 2019 bisa lebih efektif dan efisien. Sebab, di tahun 2018, ia melihat mitigasi bencana masih belum maksimal.

Hal itu terlihat dari penanganan bencana tahun lalu, seperti gempa bumi di Lombok, gempa bumi dan tsunami di Palu dan sekitarnya hingga tsunami di kawasan Selat Sunda.

"Pendidikan masyarakat tentang bencana ini masih sangat minim, apabila terjadi bencana, itu harus bagaimana, sumber informasi mana yang layak dijadikan sumber utama sehingga masyarakat juga tidak mudah menjadi korban hoaks," kata Alvin dalam sesi diskusi di Ombudsman, Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Alvin menyinggung bagaimana masyarakat di sekitar wilayah Gunungsitoli baru-baru ini menjadi panik dan mengungsi ketika mendengar isu air laut surut dan berpotensi tsunami.

"Ini diancam hoaks tsunami, kemudian mengungsi, ternyata hoaks," ungkap dia.

Baca juga: Kompleksitas Merancang Mitigasi Bencana

Selain itu, sistem anggaran pengadaan peringatan dini tsunami saat ini dinilainya masih belum maksimal.

Alvin menceritakan, Ombudsman pernah bertemu dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membahas tsunami dan gempa bumi di Sulawesi Tengah.

"Menanyakan waktu itu apa yang terjadi pada saat tsunami di Sulawesi Tengah, ternyata BMKG sudah membuat peta untuk meng-cover seluruh Indonesia dibutuhkan sekitar 500 sensor tsunami, itu idealnya. Minimalnya dibutuhkan 300-an," ujar Alvin.

Sekitar tahun 2012-2013, kata Alvin, BMKG mengajukan pengadaan sensor tsunami sesuai kriteria minimal. Namun, jumlah yang disetujui hanya sekitar 170 sensor tsunami. Pada waktu itu, BMKG berharap tahun berikutnya bisa mendapatkan alokasi tambahan.

Baca juga: KPAI: Pendidikan Mitigasi Bencana Akan Sia-sia Tanpa Simulasi

"Tapi yang terjadi dari 170 yang dimiliki, anggaran perawatan dan operasional yang diberikan untuk 100-an, sehingga 70 lainnya tidak dapatkan dioperasikan. Akibatnya apa, seluruh Indonesia hanya di-cover dengan 100 detektor tsunami," paparnya.

Hal itu memperlihatkan bahwa sistem anggaran terkait mitigasi bencana belum berorientasi sepenuhnya pada kebutuhan.

Kemudian, kata dia, Ombudsman juga mengamati tanggap darurat bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah. Ombudsman melihat koordinasi antar lembaga cenderung tidak jelas dan tumpang tindih.

"Itu tidak jelas, di mana kewenangan BNPB, di mana kewenangan BPBD, di mana kewenangan Pemda, bahkan untuk pengelolaan early warning system ini juga tidak jelas," kata dia.

"Kemudian juga pengalaman dari Lombok ini BPBD hanya sebagai wakil dari tim penanggulangan bencana di daerah, ketuanya adalah Danrem (Komandan Resort Militer), kalau Danrem di tempat, praktis wakil ini tidak punya kewenangan apa-apa," sambungnya.

Baca juga: Jokowi Minta Edukasi dan Mitigasi Bencana Masuk Kurikulum Pendidikan

Alvin mengatakan, saat bencana terjadi, banyak juga pejabat di lapangan yang membuat pernyataan sendiri. Situasi itu membingungkan masyarakat. Sebab, tak ada satu sumber informasi terpadu yang lengkap dan bisa diandalkan.

"Untuk pasca-bencana masih banyak perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan antara lain bantuan pemulihan psikologis korban, ini masih terabaikan. Urusan administrasi dan pencairan anggaran ini juga menggunakan pola normal bukan pola tanggap bencana," kata dia.

Ia menekankan, ke depannya publik berhak mendapatkan suatu pedoman terpadu ketika berada dalam situasi darurat maupun pasca-bencana. Kemudian, koordinasi antar pihak yang terlibat dalam penanganan bencana bisa lebih diperjelas lagi.

"Kami juga melihat memang peraturan penanggulangan bencana ini masih sangat minim, sehingga organisasi di tingkat pusat ada BNPB yang sedemikian cukup besar kewenangannya itu tidak serta-merta diikuti dengan organisasi serupa BPBD di daerah yang anggaran, kewenangannya sangat terbatas," kata dia.

"Hal-hal seperti ini yang kami ingin tindaklanjuti dengan pemerintah supaya lebih ada keseragaman pola di pusat dan daerah," lanjutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com