KOMPAS.com - Hutan Indonesia saat ini alami deforestasi atau penggundulan hutan secara besar-besaran yang diduga terjadi akibat jalannya proyek kelapa sawit.
Salah satu pemasok kelapa sawit terbesar di dunia, Wilmar International, mendapatkan sorotan khusus dari organisasi lingkungan global, Greenpeace, dalam kasus produksi kelapa sawit.
Wilmar telah memberikan janji kepada Greenpeace untuk sedia mengawasi tindak-tanduk pemasoknya dalam produksi kelapa sawit.
Komitmen yang dijanjikan oleh Wilmar itu yakni membuka peta wilayah seluruh pemasok kelapa sawit, menggunakan satelit untuk memonitor perusakan hutan, dan memberhentikan kerja sama dengan pemasok yang merusak hutan.
Dilansir dari laman Greenpeace.org, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik menyampaikan bahwa pihak Greenpeace akan mengawasi dengan saksama untuk memastikan Wilmar benar-benar akan melaksanakan janjinya.
Adapun langkah ini bertujuan untuk mengakhiri deforestasi yang disebabkan perkebunan kelapa sawit di seluruh pasokan perusahaan merek-merek terbesar rumah tangga dan pembeli minya sawit di dunia.
Saat dikonfirmasi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Annisa Rahmawati menyampaikan, ada beberapa aksi damai yang dilakukan di Indonesia maupun ranah global untuk menekan Wilmar.
"Pada 25 September 2018, aksi di Bitung, Sulawesi Utara kami menduduki kilang timbun minyak sawit Wilmar bersama grup musik Boomerang," ujar Annisa saat dihubungi Kompas.com pada Senin (17/12/2018).
"Selain itu, pada 17 November 2018, aksi enam aktivis menaiki kapal tanker Stolt Tenacity yang memuat minyak sawit dari Wilmar yang menuju Eropa. Pada 24 November 2018, aksi aktivis mooring/menambatkan diri di kapal yang sama menuju Rotterdam," kata Annisa.
Baca juga: Greenpeace Keluhkan KLHK yang Menolak Beri Data Kehutanan
Perlu diketahui, investigasi Greenpeace Internasional mengungkapkan, ada 25 grup industri kelapa sawit yang telah membabat lebih dari 130.000 hektar hutan sejak akhir 2015.
"Sebanyak 40 persen deforestasi atau sekitar 51.600 hektar berada di Papua, yang mana salah satu wilayah yang paling banyak memiliki keanekaragaman hayati di dunia dan belum tersentuh oleh industri minyak sawit hingga baru-baru ini," ujar Annisa.
Sebagai informasi, kelapa sawit merupakan bahan yang sering digunakan dalam industri rumah tangga, seperti sampo, sabun, detergen, dan kosmetik.
Adapun 12 merek yang memperoleh pasokan dari 20 grup minyak sawit, antara lain Colgate-Palmolie, General Mills, Hershey, Kellogg's, Kraft Heinz, L'Oreal, Mars, Mondalez, Nestle, PepsiCo, Reckitt Benkiser, dan Unilever.
Menurut Greenpeace, perusahaan kelapa sawit dalam memproduksi minyak sawit tentu timbul beberapa dampak yang kurang baik.
Dampak ini seperti berkurangnya populasi orangutan di Kalimantan dalam kurun waktu 16 tahun karena perusakan habitat orangutan.
Kemudian, deforestasi dan penggundulan lahan gambut yang terjadi dan berdampak tinggi emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Ada juga dampak lain yang terjadi akibat pembangunan perkebunan yang menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia.
Kebakaran ini menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua pada Juli 2015 lalu.
Pihak Wilmar membuat pernyataan bersama dengan Aidenvironment dengan merinci program pengawasan dan keterlibatan pemasok baru Wilmar yang akan mempercepat upayanya menuju kelapa sawit bebas deforestasi industri.
Adapun program ini dikembangkan untuk meningkatkan keefektifan kebijakan "No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE)".
Chief Sustainability Officer Wilmar, Jeremy Goon menyampaikan bahwa pihak Wilmar tetap teguh dalam komitmen terhadap kebijakan NDPE.
"Kami dan rencana baru yang ditingkatkan ini adalah bagian dari strategi keberlanjutan untuk menuju suplai bebas dari deforestasi dan konflik," ujar Goon.
Menurut Goon, pihak Wilmar menyadari bahwa dalam mencapai tujuan bebas deforestasi ini mau tidak mau berdampak negatif pada petani kecil.
Oleh karena itu, pihak Wilmar harus memastikan bahwa dengan menaikkan standar lebih tinggi, mereka tidak berkontribusi pada pasar minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan.
"Sehingga kami bisa terus membimbing dan membantu petani kecil dan pemasok kami untuk mematuhi kebijakan NDPE," ujar Goon.
Sementara, pendiri Aidenvironment Asia, Eric Wakker mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan dalam pasokan minyak sawit saat ini akan mendapatkan visibilitas yang lebih baik pada perkebunan mereka, terutama kepatuhan mereka terhadap kebijakan NDPE.
"Hal ini juga memungkinkan perusahaan untuk bertindak lebih cepat terhadap pemasok yang terlibat dalam deforestasi dan pengembangan lahan gambut," ujar Goon.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.