POLA pengelolaan penerbangan nasional terkesan kurang tertata dengan baik sebagai akibat dari tidak atau kurang terpadunya penanganan dari pertumbuhan penumpang yang melonjak tajam pada 10-15 tahun terakhir.
Sementara bandara di Tanah Air semakin padat, aliran kedatangan pesawat-pesawat baru terus saja mengalir tanpa dapat dihentikan.
Hal ini mudah sekali terlihat dari kepadatan slot penerbangan, antara lain di Soekarno-Hatta International Airport (SHIA), Bandara Halim Perdanakusuma, Bandara Husein Bandung, dan banyak bandara lain di Tanah Air.
Kepadatan penumpang, terutama yang terjadi di Halim sekarang ini, sudah agak membahayakan keselamatan penerbangan.
Pada awalnya ada slot 70 penerbangan komersial yang bisa ditoleransi untuk dapat dilakukan di pangkalan Angkatan Udara agar tidak mengganggu penerbangan militer. Kini konon sudah jauh melebihi dari 70 penerbangan komersial dalam sehari.
Sementara itu, mencolok sekali dengan apa yang terjadi di Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, yang baru saja diresmikan pada 24 Maret 2018.
Bandara berkapasitas 5,6 juta penumpang setahun dan dibangun dengan biaya triliunan rupiah itu konon hingga hari ini masih "kosong" melompong dan hanya dipergunakan untuk satu atau dua penerbangan dalam satu hari.
Maskapai penerbangan masih banyak yang enggan menggunakan Kertajati dengan alasan "market", rute penerbangan dan akses penumpang ke bandara yang terlihat masih belum menunjukkan bayangan keuntungan secara komersial.
Dalam kondisi parah seperti itu, sudah terdengar pula sayup-sayup tentang perencanaan akan pembangunan international airport baru di Lebak, Banten.
Bandara baru ini paling tidak dapat dipastikan akan mengganggu keberadaan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) di Curug.
Nah, semua itu tentu saja menggambarkan betapa perencanaan dan penanganan dari masalah penerbangan secara nasional belum terkoordinasi dengan baik.
Masalah penerbangan nasional tidaklah semata masalah penerbangan komersial belaka karena ada juga kegiatan penerbangan militer, misalnya, dan kegiatan penerbangan untuk keperluan pendidikan dan latihan.
Masalah penerbangan nasional tidaklah semata masalah Kementrian Perhubungan saja karena ada pula masalah penerbangan yang berada di bawah kementerian lain, seperti Kementrian Pertahanan.
Masalah penerbangan nasional harus ditangani secara bersama-sama antar-beberapa kementerian dan instansi serta institusi terkait lainnya.
Kompleksnya masalah penerbangan nasional sebenarnya sudah diantisipasi oleh pemerintah Republik Indonesia sejak puluhan tahun lalu.
Sudah diantisipasi puluhan tahun lalu bahwa penanganannya harus dilakukan dengan mekanisme keterpaduan koordinasi di tingkat strategis atau di tingkat pemerintah pusat.
Pada salah satu lembaran negara tahun 1955, terdapat sebuah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1955 tentang Dewan Penerbangan. Tertulis dengan jelas pada PP tersebut, antara lain:
Presiden Republik Indonesia menimbang : bahwa untuk memberikan nasehat dan menyempurnakan koordinasi dalam soal-soal penerbangan dan agar terdapat kerja sama yang sebaik-baiknya antara instansi-instansi yang mempunyai tugas yang erat hubungannya dengan beberapa soal penerbangan perlu dibentuk satu Dewan Penerbangan.
Pada Lembaran Negara Nomor 7 tahun 1955 tentang Dewan Penerbangan, Pasal 3 menyebutkan sebagai berikut :
Dewan itu terdiri dari:
a. Menteri Perhubungan dan Menteri Pertahanan sebagai anggauta dan bergiliran sebagai Ketua.
b. Sebagai anggota:
Dalam lembar penjelasan yang sama, bahkan diterangkan lagi dengan lebih jelas bahwa: "Dalam keadaan sekarang dirasa perlu sekali untuk mengoordinir politik penerbangan sipil dan politik penerbangan militer, yang kedua-duanya tidak terlepas dari politik dan ekonomi negara."
Lebih penting lagi, dalam bagian lainnya tercantum pula penjelasan yang sangat gamblang sebagai berikut: "Dengan tegas dinyatakan di sini bahwa hanya soal-soal penerbangan sipil dan militer yang mempunyai hubungan amat erat satu sama lain yang harus dikoordinasikan. Maksudnya ialah untuk menghindarkan pengertian, bahwa instansi penerbangan satunya dapat turut mencampuri soal-soal penerbangan yang khusus termasuk dalam kompetemsi instansi penerbangan yang lain atau sebaliknya."
Banyaknya permasalahan dalam dunia penerbangan nasional saat ini memang membutuhkan sebuah dewan yang dapat mengoordinasikan dengan baik persoalan penerbangan secara keseluruhan.
Secara keseluruhan di sini adalah tidak sebagaimana gambaran umum yang terlihat di permukaan tentang bagaimana penerbangan sipil komersial telah mendominasi dan berjalan sendiri tanpa koordinasi yang baik dengan sektor lain yang berkaitan erat dengan kegiatan penerbangan secara keseluruhan.
Mudah-mudahan dengan sedikit renungan dalam mengamati ulang lembaran negara tahun 1955 itu maka seluruh stake holder penerbangan di Tanah Air dapat segera menyadari tentang pentingnya "koordinasi" dan aspek saling menghargai kompetensi masing-masing dalam sebuah penyelenggaraan penerbangan di negeri ini.
Wadah yang berkemampuan menembus sekat-sekat arogansi sektoral dalam aktivitas di bidang penerbangan sudah waktunya hadir untuk dapat menyelesaikan segera permasalahan serius di dunia penerbangan kita yang sudah menjurus kearah yang mengkhawatirkan.
Semrawutnya Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sekarang ini hanya satu dari sekian banyak permasalahan yang menghadang di depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.