KOMPAS.com - Hari ini 75 tahun yang lalu tepatnya pada 3 Oktober 1942, Pembela Tanah Air atau PETA didirikan. PETA merupakan tentara sukarelawan (kesatuan militer) buatan Jepang di Indonesia yang bertugas membantu tentara Jepang dalam peperangan.
PETA memiliki peran penting dalam menjaga kemerdekaan Indonesia dan juga perang kemerdekaan. Ketika Belanda dan Sekutu mencoba datang kembali ke Indonesia, tentara PETA mempunyai peran penting.
PETA merupakan salah satu bagian dari cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Berdirinya PETA berawal dari inisiatif orang Indonesia, yang bernama R Gatot Mangkupraja yang merupakan seorang pimpinan nasionalis.
Dalam buku Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi (2007) karya Suhartono W Pranoto, Gatot menuliskan surat kepada Gunseikan di Jawa untuk membentuk tentara. Surat itu ditulis pada September 1943.
Namun, terdapat pendapat lain yang menjelaskan bahwa terbentuknya PETA berasal dari golongan ulama yang menginginkan kelompok untuk mempertahankan Pulau Jawa. Hasilnya, bendera PETA terdapat lambang matahari terbit dan lambang bulan sabit serta bintang.
Pemuda Indonesia kemudian bergabung dalam satuan ini. Markasnya berada di Bogor, Jawa Barat. Peran utama dalam pembentukannya tertuju pada membela Indonesia dari serangan blok Sekutu.
Mereka dilatih dan diajari tentang pendidikan militer oleh tentara Jepang. Sampai pada akhirnya, terbentuk 66 batalion di Jawa, tiga batalion di Bali dan sekitar 20.000 personel di Sumatera untuk mengamankan daerahnya.
Dalam kesatuan PETA juga dikenal dengan sistem kepangkatan. Daidanco sebagai komandan batalion yang berisi pejabat atau pemuka agama dan abdi negara. Cudanco yang berada di bawahnya yang biasanya memimpin sebuah kompi.
Urutan di bawahnya Shodanco yang menjadi pemimpin peleton, Budanco yang bertugas memimpin regu, dan yang paling bawah adalah Giyuhei sebagai prajurit.
Semua anggota PETA mempunyai motivasi yang sama untuk mempertahankan Tanah Air dari kolonialisme barat. Namun, tentara PETA sering berhadapan dengan pekerjaan romusha.
Mereka mengawasi pekerjaan romusha yang notabene dilakukan oleh bangsa Indonesia. Bahkan, ada yang merupakan bagian dari sanak famili.
Hal yang perlu kita ingat, tak semua tentara PETA pro terhadap Jepang. Hal ini dibuktikan pada pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945 yang menyebabkan pemimpinnya Soepriyadi tertangkap dan tak diketahui keberadaanya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya, Tentara Kekasisaran Jepang memerintahkan untuk segera membubarkan PETA. Pembubaran PETA terjadi setelah Panglima Tentara ke-16 di Jawa, Letnan Jenderal Nagano Yuichito mengucapkan perpisahan pada anggota kesatuan PETA.
Walaupun secara organisasi telah bubar, tentara PETA masih membantu dalam perang kemerdekaan ketika Belanda mencoba menduduki Indonesia.
Mantan tentara PETA seperti Soeharto, Soedirman, Ahmad Yani, Basuki Rachmad, dan Sarwo Edhie Wibowo berperan setelah kemerdekaan.
Pada akhirnya, ketika pemerintah membentuk sebuah badan resmi untuk menjaga kedaulatan negara, anggota PETA diajak kembali untuk bergabung.
Harian Kompas edisi 14 Agustus 1970 menulis, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tentara PETA yang tersebar dikumpulkan kembali untuk bergabung dalam BKR. Tak hanya tentara PETA, BKR juga memanggil bekas tentara Heiho, Kaigun dan Kompeiho.
Dari BKR kemudian menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) dan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
....