Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lenny Hidayat, SSos, MPP
Pengamat lingkungan, sosial, dan ekonomi

Pengamat lingkungan, sosial, dan ekonomi (ESG)

Apa yang Keliru dengan Ekstremisme?

Kompas.com - 25/07/2018, 06:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUA survei yang diliput oleh laman Kompas dalam kurun waktu dua minggu belakangan ini menggetarkan hati banyak orang.

Survei yang pertama diinisiasi oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan (RK) tentang survei tingkat radikalisme di seratus masjid kantor pemerintahan (kementerian, lembaga negara, dan BUMN).

Survei kedua dinisiasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA tentang tingkat dukungan publik terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah.

Jika digabungkan, kedua survei ini membuka kembali kontak pandora wacana pembentukan bangsa Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Pesan utamanya sangat jelas, bahaya intoleransi dan ekstrismisme jauh lebih besar daripada terorisme karena orang tidak dapat dihukum hanya dengan berpikir, baru ketika berbuat.

Namun, ekstrismisme merupakan ladang subur berkembangnya benih-benih aksi kekerasan dan atau terorisme yang sekarang bukan lagi merambah orang dewasa namun telah melibatkan generasi harapan bangsa, anak-anak kita yang tercinta.

Beberapa pakar pendidikan dan psikolog keluarga memaparkan indikasi ekstrimisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya, merasa keyakinannya superior, lebih murni dan mengajak orang lain untuk memiliki cara berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari yang persuasif hingga paksaan, intimidasi, group atau social bullying dan bentuk lainnya.

Cara "mengkader" orang lain pada umumnya melalui ajakan yang sangat menarik, tetapi ujungnya mengubah cara pikir orang lain terhadap keluarga, tujuan hidup, interaksi dengan lingkungan sekeliling, masyarakat, dan negara.

Inilah kunci mengapa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, begitu banyak orang yang putus hubungan, baik offline maupun online, dengan teman SD, SMP, SMA dan kuliah bahkan berujung perceraian karena perbedaan cara melihat hidup dan masa depan bangsa.

Titik tolak perubahannya adalah ketika seseorang mulai merasa tidak nyaman berelasi di luar kaumnya sendiri, cenderung tidak ingin berinteraksi dengan keyakinan berbeda ataupun mereka yang memiliki cara berpakaian berbeda.

Kehebatan demokrasi

Turunnya angka pendukung pro-Pancasila ke pilihan alternatif tadi sebenarnya konsekuensi logis dari sistem demokrasi Pancasila. Demokrasi memberikan ruang bebas bagi siapa saja untuk bersuara. Namun, ada perbedaan mendasar antara suara yang memperjuangkan kepentingan seluruh pihak dan yang mementingkan hanya kelompok tertentu.

Ada seorang kawan baik yang selalu mengingatkan saya bahwa dalam proses demokrasi, sudah benar seluruh pihak dapat bersuara. Akan tetapi, jika ada suara yang tujuan akhirnya mendiskriminasi kelompok tertentu, maka jelas keluar dari koridor demokrasi.

Wacana NKRI bersyariah ini sudah bergulir sejak sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia karena alasan yang tampaknya rasional, yaitu mayoritas.

Pemikiran ini telah diimbangi dengan sila keempat Pancasila bahwa semua keputusan harus berdasar pada musyawarah mufakat, bukan voting.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com