Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lenny Hidayat, SSos, MPP
Pengamat lingkungan, sosial, dan ekonomi

Pengamat lingkungan, sosial, dan ekonomi (ESG)

Menyembuhkan Luka Sosial Pasca-pilkada

Kompas.com - 10/07/2018, 17:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA damai dan tentram kembali diraih pada perayaan demokrasi Pilkada Serentak 2018 di 170 daerah beberapa waktu lalu. Ini sebuah prestasi dunia.

Namun, di balik prestasi perhelatan pesta demokrasi sehari dengan jumlah pemilih terbesar di dunia ini, bekas "luka sosial" dari pilkada tersebut berpotensi dipolitisasi hingga Pemilu 2019.

Beragam "luka sosial" mewarnai rasa pilkada serentak hingga saat ini. Dari tertangkapnya pelaku teroris bom asal Depok yang akan beraksi di Pilkada Jabar hingga kasus pemecatan seorang guru karena memilih kandidat yang tidak sesuai dengan arahan pengurus yayasan sekolah di Bekasi.

Ada pula kasus bom meledak di sebuah kontrakan di daerah Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang mengorbankan anak laki-laki beberapa hari lalu.

Mungkin korban tidak berjatuhan sebanyak kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Mei lalu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh pelaku intoleransi dan teroris sudah menorehkan luka sosial.

Selayaknya luka yang terbuka, perawatan dan penyembuhan juga membutuhkan waktu. Sebelum ada pihak-pihak tertentu yang memainkan luka sosial ini bahkan menorehkan dan meneteskan air garam sehingga terasa lebih pedih, kita harus mengingat bahwa layaknya luka di tubuh, jika dirawat dengan rasa cinta kasih, dapat sembuh seperti sediakala.

Aspek rasa ini harus dibentengi dengan sebuah rasa persatuan dan kemanusiaan yang membalut satu per satu luka sosial tersebut. Bagaimana cara mencegah luka sosial ini melebar?

Pasca-revisi UU Terorisme

Setelah revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, antisipasi aparat terhadap rasa keamanan memiliki dua sisi.

Di satu sisi, UU memberikan diskresi besar terhadap aparat untuk penindakan potensi teror. Kapolri telah berinisiatif untuk membentuk Satuan Gugus Tugas Nusantara yang telah beroperasi sejak pertengahan 2018 hingga Pemilu 2019 untuk mencegah politisasi isu di wilayah.

Tim gabungan ini dibentuk atas dasar struktur Polri yang masih perlu lebih responsif terhadap potensi gangguan di luar dari ranah pidana, khususnya intoleransi, ekstremisme, dan terorisme.

Di sisi lain, UU belum secara menyeluruh menggerakkan aspek budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dalam konteks kebangsaan. Konteks pencegahan yang dirujuk dalam UU masih dalam koridor keamanan sehingga perlu peraturan turunan yang dapat mencakup keseluruhan aspek yang telah terinfilterasi dengan paham intoleran dan ekstrem.

Studi literatur Kemitraan memetakan sedikitnya tujuh aspek yang telah terinfiltrasi, yakni pendidikan, sosial, budaya, informasi, kepemudaan, pariwisata, dan ekonomi.

Seluruhnya berbasis survei yang diinisiasi, baik oleh lembaga penelitian, universitas, lembaga non-pemerintah, dan swasta antara 2014 dan 2018. Bisa dikatakan bahwa ini hanya sinyalemen, tetapi jika sinyal diabaikan akan menjadi gangguan nyata.

Pencegahan isu radikal dan ekstrem harus disamaratakan dengan pengarusutamaan isu jender, baik dari sisi arus utama program dan anggaran yang melibatkan maupun aktor negara dan non-negara.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com