JAKARTA, KOMPAS.com - Tertangkapnya terduga teroris di lingkungan Universitas Riau beberapa waktu lalu memicu pandangan terkait gerakan radikal yang sudah masuk ke dunia kampus.
Pemerintah pun kemudian merilis daftar tujuh perguruan tinggi yang terindikasi terpapar paham radikal.
Namun demikian, kalangan akademisi menilai definisi "radikal" belum dipaparkan secara spesifik oleh pemerintah. Sehingga, akhirnya dapat dibedakan antara definisi radikalisme dan sifat kritis.
Rektor Universitas Paramadina Prof Firmanzah memandang terminologi radikal masih sangat ambigu. Ini berbeda dengan terminologi terorisme yang sudah sangat jelas.
"Kalau terminologi terorisme sudah jelas, afiliasi gerakan-gerakan yang dianggap radikal, misal terkait dengan ISIS atau teror bom," ujar Firmanzah dalam diskusi Perspektif Indonesia yang digelar Smart FM dan Populi Center di Jakarta, Sabtu (9/6/2018).
Baca juga: Cegah Radikalisme di Kampus, Ini Empat Instrumen yang Dapat Digunakan
Dengan terminologi terorisme yang sudah jelas tersebut, maka perguruan tinggi dapat mengambil sikap yang jelas dan keras dalam menyikapi hal itu. Namun, tidak demikian dengan definisi radikal.
"Kalau misalnya radikalisme lantas juga akan menarik, katakanlah, konservatifisme misalnya, itu masih perdebatan. Apakah pemikiran-pemikiran dan gerakan yang misalnya sangat konservatif, kalau di filsafat kan banyak sekali pemahaman terkaut konservatifisme," ucap Firmanzah.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah dan instansi terkait memberikan definisi yang lebih terperinci terkait terminologi radikalisme. Sehingga, perguruan tinggi termasuk para rektor dapat membedakan.
"Mana yang membahayakan keutuhan NKRI dan itu menjadi perhatian kita bersama, mana yang memang masih dalam kategori sikap kritis," kata Firmanzah.