Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Mau Apa Kita Setelah 20 Tahun Reformasi?

Kompas.com - 23/05/2018, 09:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUA hari lalu, sebuah acara talk show di KompasTV menarik perhatian saya untuk menontonnya sampai selesai. Judulnya "Membaca Ulang Reformasi".

Dalam beberapa segmen, Budiman Tanuredjo, sang host, mewawancarai mereka yang menjadi saksi mata langsung peristiwa berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, yang menjadi awal era baru di negara ini yang sampai sekarang dinamai "Era Reformasi". Mulai dari wartawan senior Kompas, J Osdar, sampai para aktivis mahasiswa tahun 1998 dan penggagas organisasi massa mahasiswa dan pemuda, semisal Forkot (Forum Kota).

Lama setelah mematikan televisi, saya jadi pengin diam sebentar, lalu mengenang apa yang teringat pada 18-21 Mei 1998 di Gedung Kura-kura kompleks DPR RI Senayan.

Gedung yang dibangun tahun 1965 dan menjadi ikon rumah rakyat, rumah parlemen Indonesia ini pada 18-21 Mei 1998 menjadi saksi bisu ribuan mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soeharto.

Demonstrasi itu terjawab dengan pidato mundurnya presiden dalam 32 tahun kepemimpinan yang dinamai Orde Baru pada pagi hari 21 Mei 1998. Tanda sekaligus runtuhnya semua "produk" masa Orde Baru.

Saya dan ratusan wartawan media massa dalam dan luar negeri beruntung menjadi para peliput di tengah-tengah situasi yang semoga tak lagi terulang itu.

Saksi mata, seperti juga dalam acara "Membaca Ulang Reformasi", amat penting untuk membaca ulang sebuah peristiwa yang telah berlalu berpuluh tahun lamanya.

Kami yang akrab dalam penulis biografi terkait sejarah, sering menyebut tuturan para saksi mata sebagai refleksi, yang tentu saja sangat subjektif dari sudut pandang para penutur.

Akan tetapi, catatan-catatan refleksi banyak saksi mata sejarah dapat dikumpulkan utuh sebagai sebuah telaah. Paling tidak, ada sebuah pelajaran bagaimana menyikapi ini di masa selanjutnya.

Seperti pemeo, sejarah pasti berulang. Maka, dengan semangat untuk mencegahnya terulang lagi atau semangat apa yang bisa kita lakukan setelah peristiwa berlalu berpuluh tahun, catatan ini saya buat. Paling tidak, anak saya bisa membaca kelak.

Anggota polisi berjaga setelah kerusuhan meletup di Simpang Grogol, Jakarta, 13 Mei 1998.MAJALAH D&R/RULLY KESUMA Anggota polisi berjaga setelah kerusuhan meletup di Simpang Grogol, Jakarta, 13 Mei 1998.

Majalah "D&R" di pengujung Orde Baru

Majalah D&R, majalah tempat saya bekerja sebagai wartawan dari awal sampai tutupnya (1996-2001), bahkan sudah memprediksi masa gejolak ini sejak awal didirikannya.

Kami bahkan dalam candaan sering menyebut majalah kami majalah martir. Majalah berita mingguan ini dipimpin wartawan senior majalah Tempo, Bambang Bujono dan beberapa redakturnya.

Pilihan kami: sikap keras mengkritik banyak hal suram di era Orde Baru, mulai dari Tragedi 1965 dan apa yang selama ini ditutupi di balik peristiwa itu, juga nasib para mantan tahanan politik dan narapidana politik yang tak pernah direhabilitasi, krisis likuiditas Bank Indonesia, orang-orang hilang, kasus-kasus hukum yang dipetieskan, dan banyak lagi.

Kami juga hampir diberedel oleh pemerintah Orde Baru karena berani-beraninya menurunkan laporan utama mengkritik terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden ke-7 kalinya pada Pemilu 1997. Pemimpin redaksi kami bolak-balik dipanggil polisi karena cover kartu yang kontroversial pada edisi Maret 1998 itu.

Gelombang demonstrasi mahasiswa mulai merebak di mana-mana seiring terpilihnya kembali Soeharto. Dimulai sejak satu-dua bulan lebih demo mahasiswa yang masif. Puncaknya: gugur empat mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, yang mendorong kemarahan rakyat dan amuk massa di seluruh Jakarta.

Sore itu saya tepat ada di kolong jalan layang Trisakti, dan ketika tembak-menembak terjadi, tak ada yang bisa saya dan sekitar delapan teman wartawan lakukan, selain berdoa. Semoga peluru tidak nyasar di tubuh.

Masih ingat, ketika berhenti suara itu, kami lari tunggang-langgang mencari tempat aman. Hampir semua kami peliput tidak bisa tidak menggunakan emosi saat berada di tempat kejadian.

Jarak saya dan teman-teman yang begitu dekat dengan aparat keamanan membuat kami tak habis heran bagaimana bisa aparat polisi pasukan anti huru-hara (PHH) memukuli dan kemudian menembaki mahasiswa.

Saya masih ingat, saya menangis di lapangan karena dua sebab: tembakan gas air mata dan kesedihan-kebingungan yang luar biasa.

Sampai hari ini, siapa yang menembak para mendiang mahasiswa muda belia, yakni Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidin Royan, dan Heri Hertanto, tak kunjung terungkap.

Foto-foto abadi peristiwa Mei 1998 yang dibuat wartawan foto Rully Kesuma (majalah D&R) dan almarhum Julian Sihombing (harian Kompas), seperti yang saya sajikan dalam tulisan ini, semoga bisa membantu menggambarkan seperti apa kerasnya kerusuhan yang terjadi.

Mobil yang dibakar saat kerusuhan Mei 1998 di kawasan Grogol, Jakarta Barat, 13 Mei 1998.MAJALAH D&R/RULLY KESUMA Mobil yang dibakar saat kerusuhan Mei 1998 di kawasan Grogol, Jakarta Barat, 13 Mei 1998.

 

Amuk di Jakarta

Pada 13-14 Mei, Jakarta membara. Tersulut oleh gugurnya empat mahasiswa, kemarahan meluas menjadi pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan.

Hampir semua wartawan Jakarta ada di jalan, dan meliput langsung. Belum lagi wartawan luar negeri. Hampir tak ada pula yang pulang dari lapangan pada hari-hari itu.

Kami berkilometer berjalan kaki, dan dengan sedih melihat kota lahir ini hitam gosong di sepanjang Trisakti, Tomang, Harmoni, sampai kantor kami di Proklamasi. Amuk massa yang saya tak percaya kalau tak lihat sendiri. Amuk massa yang beberapa bulan kemudian, dalam temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), ada sutradaranya.

Penjarahan pada kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta.MAJALAH D&R/RULLY KESUMA Penjarahan pada kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta.

Selama 18-21 Mei, masa pemusatan demonstrasi mahasiswa di gedung kura-kura, gedung yang menjadi ikon utama gedung parlemen kita. Semua elemen mahasiswa Jakarta, bahkan daerah, tumpah dalam tiga malam itu.

Dalam acara "Membaca Ulang Reformasi", Savic Ali, ketika itu penggagas Forkot, menyebut Forkot yang membawa massa pertama masuk ke gedung MPR/DPR. Jumlahnya sampai 7.000 orang.

Namun saya ingat, kelompok massa pertama yang masuk ke gedung parlemen ketika itu bukan Forkot saja. Dalam diskusi di laman Facebook saya, penulis Carla Bianpoen mengingat kelompok LSM perempuan juga masuk di saat-saat awal.

Bisa dibayangkan penuhnya gedung parlemen sampai ke sudutnya. Bahkan sampai atap gedung kura-kura pun diduduki. Merinding bila ingat, dan tergambar pula dalam foto, bagaimana bendera Merah-Putih sampai ditegakkan oleh para demonstran pemuda/mahasiswa, atau bagaimana sebuah mock up keranda Presiden Soeharto diusung di tengah kerumunan.

Teriakan lega seluruh demonstran setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998 pagi adalah puncak demonstrasi menginap tiga malam itu.

Tuntutan utama reformasi dikabulkan, kita menang. Itu simpulan cepat setelah pidato berhenti itu.

Selanjutnya, gedung kura-kura dan seluruh kompleks MPR/DPR RI harus dikosongkan. Namun, penembakan Trisakti membuat para demonstran tak percaya lagi pada polisi dan (juga) tentara.

Dalam negosiasi, wakil-wakil demonstran meminta marinir TNI AL melakukan pengosongan itu. Memang, selama kerusuhan panjang ini, marinir dianggap sebagai aparat paling simpatik. Mereka juga minta ada 3-4 orang marinir di dalam bus yang membawa mereka menuju kampus masing-masing. Puluhan bus kota dikerahkan.

Mayor Jenderal TNI Mar (Purn) Yussuf Solichien (68), dalam wawancara dengan saya tiga tahun lalu, tak bisa melupakan ketika ia diminta memimpin "operasi" pengosongan gedung itu.

Komandan Denjaka (Detasemen Jala Mengkara) pasukan elite antiteror TNI Angkatan Laut tahun 1986-1987 saat itu berpangkat kolonel dan menjabat Asisten Operasi Korps Marinir.

"Saya ingat, baju dinas lapangan saya sampai basah berkeringat. Mereka bicara setengah berteriak minta kami melindungi mereka dengan sungguh-sungguh. Hati saya agak suram karena membayangkan keselamatan adik-adik mahasiswa yang berada dalam gedung itu, sampai ke kampusnya masing-masing, adalah tanggung jawab saya dan korps Marinir. Bahkan dalam operasi militer di Timor-Timur pun, saya tak pernah mengalami basah pakaian yang seperti itu. Bisa dibayangkan," kata Yussuf yang kini Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia itu.

Mau apa kita setelah 20 tahun reformasi?

Bagaimana sekarang? Menyesal kita harus menelan pil pahit ini. Dengan segala perjuangan, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang ada di tempat kejadian, Tragedi Trisakti dan kerusuhan besar yang mengikutinya, kemudian disusul Tragedi Semanggi I dan II pada September dan November 1998, kesemuanya itu tak pernah terungkap.

Kalau boleh ditanggapi dengan syukur luar biasa adalah lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan sebagai bentuk pengakuan negara atas terjadinya kekerasan berbasis gender dan etnis pada saat itu.

Saya setuju, kalau boleh disebut utang reformasi, inilah utang terbesar, yaitu mengungkap siapa penembak mahasiswa Trisakti dan Atma Jaya dalam Tragedi Semanggi serta mengungkap siapa di balik amuk massa yang memakan ratusan korban jiwa saat itu.

Kata Savic Ali di akhir acara itu boleh digaris-bawahi, "Reformasi terjadi karena kejahatan Orde Baru tak pernah selesai. Lalu, apa bedanya dengan tak berhasilnya diungkap Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi, dan lain-lain?"

Mahasiswa membawa keranda jenazah Soeharto saat menduduki Gedung MPR/DPR menuntut Soeharto
mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, 21 Mei 1998.MAJALAH D&R/RULLY KESUMA Mahasiswa membawa keranda jenazah Soeharto saat menduduki Gedung MPR/DPR menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, 21 Mei 1998.

Ada buku bagus yang memetakan perjuangan reformasi 1998 dari sisi politik, sosial, budaya, hankam. Sahih dan tanpa pretensi apa pun karena terbit hanya setahun setelahnya oleh para peneliti ilmu sosial, ekonomi, hukum dari Universitas Indonesia. Kaya data dan penting jadi sumber kajian sampai kini. Judulnya, Kisah Perjuangan Reformasi (Pustaka Sinar Harapan, 1999).

Pada halaman 247, Dr Iwan Gardono Sudjatmiko menulis berdasarkan bacaannya atas majalah D&R 8 Agustus 1998.

"Dampak awal reformasi 1998 ditandai dengan liberalisasi politik melalui dibebaskannya tapol dan napol, peningkatan kebebasan pers dan pencabutan pelarangan buku, pembentukan parpol serta ormas, seperti serikat buruh. Demikian pula reformasi menjanjikan adanya suatu pemilu (1999) yang bebas dan adil. Namun, di bidang ekonomi, reformasi ini tidak dengan segera dapat meningkatkan nilai rupiah serta menurunkan harga sembako. Dari 27 provinsi, hanya Bali yang tidak mengalami rawan pangan dan 80 juta penduduk pada tahun 1998 akan berada di bawah garis kemiskinan."

Saya juga ingin kutip pengantar almarhum Profesor Selo Soemardjan, editor buku itu. Inilah yang menurut saya harus kita cermati sebagai keberhasilan sekaligus kegagalan era reformasi.

"Sayangnya, hilangnya Soeharto dari kedudukannya sebagai Presiden Mandataris MPR dan Panglima Tertinggi ABRI juga berakibat buyarnya masyarakat di luar golongan mahasiswa. Dalam kebebasan yang mendadak itu, para tokoh dan pemimpin masyarakat tidak dapat melanjutkan perjuangan reformasi dengan satu arah yang sama."

Misalnya, masih menurut Prof Selo, jargon masa itu "Berantas KKN" atau "Berantas Kolusi-Korupsi dan Nepotisme" dijabarkan oleh para senior politik menurut pandangan dan kepentingan mereka masing-masing. Euforia terjadi berlarut-larut, yang membuat akhirnya kita pun menjadi pelanggar pesan reformasi itu.

Kita tentunya tak ingin itu terus terjadi. Kita pasti ingin utang kita pada empat Pahlawan Reformasi terbayar lunas. Maka, dalam kapasitas kita masing-masing marilah kita lanjutkan pesan perjuangan mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com