Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Didukung Parpol tapi Elektabilitas Lambat Naik, Tantangan Jokowi Jelang 2019

Kompas.com - 26/12/2017, 13:44 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyoroti tren elektabilitas Presiden Joko Widodo yang meskipun naik, namun sangat lambat.

Dalam hasil survei sejumlah lembaga, elektabilitas Jokowi rata-rata masih di bawah atau sekitar 50 persen. Padahal, saat ini sejumlah partai telah mendeklarasikan dukungannya untuk Jokowi sebagai calon presiden di Pemilu 2019.

Partai tersebut adalah Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. Adapun PDI-P sebagai partai yang menaungi Jokowi, belum secara lisan menegaskan dukungan tersebut.

Dengan dukungan partai yang sudah cukup banyak tersebut, maka tren peningkatan elektoral Jokowi menjadi pertanyaan.

"Ini salah satu tantangan kepada Pak Jokowi dan koalisinya jelang 2019, bagaimana mempercepat progres elektabilitas Pak Jokowi yang meskipun trennya naik tapi lambat," ujar Ray dalam sebuah diskusi di bilangan Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12/2017).

(Baca juga: Survei Populi Center: Elektabilitas Jokowi 49,4 Persen, Prabowo 21,7 Persen)

Ia menambahkan, pelaksanaan pemilu, khususnya pilkada, secara teknis tak menemui hambatan serius. Permasalahan yang harus diperhatikan adalah tantangan non-teknis yang akan kencang jelang Pilkada 2018 dan akan menguat pada Pemilu 2019.

Hal itu, kata dia, menjelaskan mengapa kenaikan elektabilitas Jokowi lambat. Setidaknya, ada dua tantangan non-teknis tersebut, yakni politik uang dan politik SARA.

Direktur Eksekutif Lima, Ray RangkutiKOMPAS.com/Nabilla Tashandra Direktur Eksekutif Lima, Ray Rangkuti
Soal politik uang, Ray menilai perlu ada pelacakan lebih mendalam, yakni mengenai investor atau sumber dana para kandidat kepala daerah yang melakukan politik uang.

"Pada tingkat tertentu, bagi saya politik yang bukan lagi soal kandidat bayar ke orang. Tapi perlu dilacak segera adalah para kandidat mendapatkan uang dari mana," tuturnya.

(Baca juga: Istana Minta Para Menteri Tak Bikin Kebijakan yang Gerus Elektabilitas Presiden)

Di samping itu, isu politik SARA juga bisa menjadi tantangan non-teknis yang perlu diwaspadai Jokowi. Pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta, bahaya isu SARA dinilai Ray bahkan lebih bahaya daripada politik uang.

Sebab, dampak politik isu SARA jauh lebih lama dan menyebabkan keterbelahan di masyarakat.

"Kalau di DKI Jakarta, sampai sekarang masyarakat bukan hanya berbeda tapi terbelah. Dan prediksi saya tidak akan berhenti 2018," ujar Ray.

(Baca juga: Elektabilitas Jokowi Dinilai Belum Aman, Cawapres Jadi Faktor Penentu)

Ray menambahkan, lambatnya kenaikan elektabilitas Jokowi bisa saja karena imbas isu politik SARA tersebut. Masih lekat di ingatan bahwa Jokowi kerap dikaitkan dengan komunisme pada Pemilu 2014 lalu.

Menurut dia, Jokowi perlu terus menerus menegaskan bahwa dirinya bukan bagian dari komunis dan bukan orang yang punya orientasi luar biasa terhadap perekonomian China.

"2018 yang akan datang bagaimana mencegah politik SARA di setiap pelaksanaan event politik karena efeknya panjang sekali dibanding politk uang," kata dia.

Kompas TV Dari data Polmark Indonesia, Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mendominasi tingkat elektabilitas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Laporan BPK 2021: Tapera Tak Kembalikan Uang Ratusan Ribu Peserta Senilai Rp 567 M

Laporan BPK 2021: Tapera Tak Kembalikan Uang Ratusan Ribu Peserta Senilai Rp 567 M

Nasional
Mundur sebagai Wakil Kepala Otorita IKN, Dhony Rahajoe Sampaikan Terima Kasih ke Jokowi

Mundur sebagai Wakil Kepala Otorita IKN, Dhony Rahajoe Sampaikan Terima Kasih ke Jokowi

Nasional
KPU Dianggap Bisa Masuk Jebakan Politik Jika Ikuti Putusan MA

KPU Dianggap Bisa Masuk Jebakan Politik Jika Ikuti Putusan MA

Nasional
Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Nasional
KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Nasional
Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Nasional
Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasional
Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana dengan Kaesang pada Pilkada Jakarta?

Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana dengan Kaesang pada Pilkada Jakarta?

Nasional
[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

Nasional
[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

Nasional
Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Nasional
SYL Mengaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

SYL Mengaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

Nasional
PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com