JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR Dadang Rusdiana menganggap kasus hukum yang menjerat Ketua DPR RI Setya Novanto menjadi ujian berat bagi lembaga DPR dengan citranya yang sudah buruk di masyarakat.
Hal ini menyusul status Novanto yang kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi proyek e-KTP.
"Ini kan ujian paling berat bagi DPR, sepanjang sejarah DPR. Citra DPR sudah tidak karuan di mata rakyat, ini pekerjaan rumah yang berat bagi kepemimpinan DPR ke depan termasuk tentunya bagi semua anggota DPR," kata Dadang melalui pesan singkat, Rabu (22/11/2017).
(Baca juga : Surat Sakti Setya Novanto dari Balik Jeruji Besi...)
Secara pribadi, Dadang mengakui memang ada beban yang dibawa sebagai anggota DPR. Misalnya saat kunjungan ke daerah dan bertemu konstituen dari segmen mahasiswa atau pelajar. Seringkali mereka menyinggung soal kasus e-KTP.
"Pak mudah-mudahan bapak tidak terlibat e-KTP," ujar Dadang menirukan perkataan salah satu konstituennya.
"Rakyat kan tidak tahu bahwa e-KTP itu periode 2009-2014. Tentu ada beban lah," katanya melanjutkan.
(Baca juga : PPP Minta Golkar Tak Pertaruhkan Citra DPR karena Pertahankan Novanto)
Dadang menambahkan, Hanura menghormati langkah apapun yang ditempuh oleh Golkar. Namun, berkaitan dengan posisi Novanto sebagai Ketua DPR RI Hanura memercayakannya kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengukur apakah ada pelanggaran dari sisi etika.
Menurutnya, MKD tetap bisa memproses dugaan pelanggaran etika tersebut meski proses hukum terhadap Novanto sedang berlangsung.
"MKD kan melihat dari sisi etika, bukan dari sisi hukum. Makanya bisa memproses secara simultan atau berbarengan," kata Anggota Komisi X DPR itu.
(Baca juga : Kesan Setya Novanto setelah Dua Hari Mendekam di Rutan KPK)
Setya Novanto ditahan di Rutan KPK pada Senin (20/11/2017) dini hari. Dalam kasus korupsi proyek e-KTP ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut.
Meski berstatus tahanan KPK, namun Golkar tetap mempertahankan Novanto sebagai ketua umum dan menunggu hasil praperadilan yang diajukan Novanto. Rapat pleno DPP Partai Golkar Selasa (21/11/2017) kemudian menunjuk Idrus Marham sebagai pelaksana tugas ketua umum.
Atas alasan yang sama, yakni menunggu hasil praperadilan, maka Golkar juga mempertahankan Novanto sebagai Ketua DPR RI.