Sekretariat Jenderal DPR yang setia
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR Damayanti mengaku hanya meneruskan surat tersebut secara administratif. Surat tersebut dibuat berdasarkan instruksi Novanto yang disampaikan melalui Kepala Biro Pimpinan DPR kepada Damayanti.
Damayanti mengatakan, dirinya dihubungi dan diberi tahu bahwa ada surat panggilan dari KPK untuk Novanto. Namun, di sisi lain, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin Presiden.
Ia meyakini tim biro pimpinan sudah memiliki kajian hukum tentang itu sehingga tak akan asal-asalan dalam membuat surat.
"Kami buat suratnya. Saya kirim, sudah, enggak ada masalah. Itu saja," kata Damayanti, Senin.
Baca juga: Kirim Surat ke KPK, Plt Sekjen DPR Bantah Lindungi Novanto
Novanto tidak hanya sekali seolah mendapat dukungan dari Sekretariat Jenderal.
Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapsari bahkan datang ke Gedung KPK September lalu untuk memberikan langsung surat serupa.
"Surat tersebut berisi permintaan agar KPK menunda penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi e-KTP," kata Hani.
Dalam surat tersebut, pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan azas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung.
"Saudara Setya Novanto memohon kepada pimpinan DPR untuk menyampaikan surat kepada KPK tentang langkah praperadilan tersebut dengan penundaan pemeriksaan dan pemanggilan Saudara Setya Novanto," ujar Hani.
Blunder
Namun, setelah surat Setjen DPR yang menjelaskan ketidakhadiran Novanto itu dibuka KPK, polemik pun berkembang.
Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut langkah Novanto sekaligus Setjen DPR sebagai blunder. Dia bahkan menyebutnya sebagai sajian yang mengundang tawa lantaran MK sejak awal tak pernah menggugurkan ketentuan pengecualian terhadap pengusutan kasus pidana khusus seperti korupsi.
Refly menduga staf di DPR tidak cermat membaca isi UU MD3 sehingga justru menjadi blunder bagj Novanto.
Tak hanya Refly, mantan hakim MK Harjono juga menguatkan argumentasi Refly.
MK menyatakan bahwa Pasal 245 Ayat 1 UU MD3 itu tidak berlaku sepanjang dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Namun, kata Harjono, MK saat itu tidak mengubah Pasal 245 Ayat 3 yang menyatakan ketentuan Ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR diduga melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Oleh karena itu, KPK tetap berwenang memeriksa Novanto meski tanpa izin Presiden.