Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Kebocoran Informasi dan Pentingnya Sikap Kritis pada Motif Pembocor

Kompas.com - 27/09/2017, 18:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

TIBA-TIBA Dedi Mulyadi meradang, sebab tersebar sebuah surat keputusan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya (Golkar) di media sosial yang berisi penetapan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (RK) sebagai bakal calon Gubernur dari Partai berlambang beringin tersebut.

Baca juga : Dedi Mulyadi: Enggak Ada Kalimat Golkar Mendukung Ridwan Kamil... 

Setali tiga uang, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham segera melakukan jumpa pers dan memberikan keterangan bahwa surat yang tersebar di media sosial terdefinisi sebagai "Surat Bodong". 

Baca juga : Sekjen Golkar Bantah Surat Pencalonan Ridwan Kamil-Daniel Mutaqien

Selain melakukan klarifikasi kepada media, Bupati Purwakarta itu juga berencana melakukan tindakan hukum terhadap penyebar surat tanpa tanggal dan nomer itu.

Baca juga : Surat Golkar Dukung Ridwan Kamil Hoaks, Dedi Mulyadi Lapor Polisi 

Jauh sebelum merealisasikan tindakan hukum tersebut, saat ini bendera Golkar telah dipasang setengah tiang di halaman Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Golkar Purwakarta sebagai tanda prihatin.

Alasan Dedi Mulyadi geram pasalnya selain karena dirinya Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Jawa Barat dan juga awam paham bahwa Bupati yang sering berpakaian etnik ini berkehendak jadi kandidat Gubernur Provinsi berpenduduk hampir 46 juta jiwa. 

Pertanyaan bagi penulis sangat sederhana. Benarkah atau bohong surat itu? Jika surat tersebut hoaks mengapa respons Dedi Mulyadi nampak berlebihan?

Bukankah cukup klarifikasi saja  sebenarnya. Atau mungkinkah itu sebuah kebocoran informasi (leaks of information)? Informasi benar yang dibocorkan, namun belum layak / tidak untuk dipublikasikan. Hingga proses gonjang-ganjing ini terus terjadi, kita masih bisa menjawab: entahlah.

Dalam konteks komunikasi politik, peristiwa semacam ini akan sangat mungkin banyak terjadi di hari-hari kedepan. Pasalnya, karena di tahun 2018 akan dilangsungkan pilkada serentak 'generasi ketiga' di 171 daerah. Terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Kasus kebocoran informasi lain, yang sedang hangat dibicarakan, di sejumlah kalangan beredar surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan perihal Perkembangan Risiko Keuangan Negara atas Penugasan Infrastruktur.

Seperti diberitakan di Antaranews.com, surat bersifat penting dan segera tertanggal 19 September 2017 itu menyoroti adanya risiko dalam keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang ditujukan kepada Menteri Energi ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Surat yang bernomor S-781/MK.08/2017 itu ditembuskan juga kepada Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Direktur Utama PLN dan Dewan Komisaris PLN itu diduga bocor ke publik.

Kementerian Keuangan melalui Kepala Biro Nufransa Wira Sakti kemudian mengeluarkan siaran pers yang menyesalkan beredarnya salinan surat internal pemerintah tersebut dan menilai bahwa hal itu merupakan tindakan melanggar peraturan, sehingga pihaknya akan melakukan pengusutan.

Dalam fragmen yang lain, cerita serupa namun tak mirip juga sering terjadi. Sebut saja peristiwa bocornya beberapa kali surat perintah penyelidikan (sprindik) dan Berita Acara Penyelidikan (BAP) dari penegak hukum.

Padahal sejatinya dokumen tersebut tidak boleh dikonsumsi publik. Faktanya ada yang dipalsukan, tapi juga ada yang asli namun sudah dibocorkan. 

Epik lain, akhir Agustus 2017 terdapat pengumuman penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS), saat itu sebagain menyampaikan bahwa kabar itu bohong (hoaks). Tapi sebagian lainnya mengatakan bahwa itu benar namun belum layak di sebarluaskan (leaxs).

Penulis sempat mencermati kejadian ini, dengan melakukan konfirmasi atas kebenaran informasi tersebut. Pihak otoritas seperti Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menyatakan bahwa informasi yang beredar benar, namun belum layak dipublikasikan karena awalnya hanya berupa formasi kebutuhan dari kementerian teknis.

Meski tak berselang lama Pemerintah mengumumkan secara resmi lowongan CPNS di 61 institusi Pemerintah. Sebagaimana diketahui, segala sesuatu yang secara resmi terkait dokumen pemerintah di Indonesia sesungguhnya sudah sangat rigid diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Nomor 14 tahun 2008. Ada yang boleh dan tidak boleh, yang layak dan tidak.

Mengapa kebocoran seperti ini banyak terjadi, tidak hanya dalam konteks lokal namun juga terjadi pada konteks global seperti Panama Papers (2016), Swiss Leaks (2015), Luksemburg Leaks (2014), Offshore Leaks (2013), dan Wikileaks (2010). 

Mencermati pola dan pijakan argumen 

Saat informasi berperan ganda yakni sebagai pesan di satu sisi dan informasi di sisi yang lain, maka dia akan berubah bentuk sebagai sebuah komoditas, tidak sekadar proses pertukaran makna dan peralihan simbol.

Sebuah informasi yang memiliki ‘bobot’ yang dibutuhkan publik secara umum dan segelintir pihak secara khusus, secara alamiah akan menempatkan dirinya sebagai dokumen dengan derajat ‘secret and confidential’. Informasi yang penting dan rahasia, pada dasarnya dikemas dalam spesifikasi tertentu untuk pihak terbatas.

Leaks biasanya dilakukan oleh kalangan internal yang memiliki akses terhadap keputusan penting dan kepentingan tertentu baik secara sengaja maupun tidak. Kebocoran informasi seringkali terjadi akibat adanya kepentingan yang tidak terakomodir. 

Bocoran informasi ini dalam realitasnya menjadi ‘bumbu’ dan ‘bahan bakar’ yang luar biasa bagi pembocor jika mampu diminati media. Pun dengan media, seperti mendapatkan asupan suplemen yang dapat mengungkit pemberitaan.

Menjadikannya pioner dalam isu tertentu atau semacam hak istimewa terhadap sebuah informasi. Kini, peran tersebut tidak sepenuhnya ditunaikan oleh media mainstream (cetak, radio, portal online dan televisi) saja. Namun dalam situasi tertentu lebih ampuh menggunakan media sosial lewat akun tertentu yang berlabel anonim maupun buzzer.

Situasi ini akan senantiasa berkembang saat jurnalis tidak lagi menempatkan narasumber dalam kacamata tunggal, seseorang yang terkenal kredibilitasnya (prominance) atau teruji kompetensinya (experties) sesuai dengan standar nilai berita (news value). Tidak jarang hasil jurnalistik justru didapatkan dari cuitan seseorang atau sebuah akun di Twitter yang memiliki nilai kontroversial luar biasa.

Ada banyak alasan mengapa informasi bisa bocor kepada media dan publik. Pertama, politisi dan pembuat kebijakan mungkin ingin menilai reaksi masyarakat terhadap rencana mereka sebelum melakukan atau semacam  test the water(s). Leaks tersebut untuk melihat bagaimana reaksi publik secara internal dan eksternal.

Kedua, orang-orang yang memiliki akses terhadap informasi rahasia mungkin akan mendapatkan keuntungan dari leaks tersebut, tanpa mereka sendiri yang bertanggung jawab. Misalnya, informasi yang akan mempermalukan lawan politik, menyebabkan keriuhan publik dan mengganggu stabilitas. Situasi ini ada semacam konflik di ‘ruang gelap’ atau terjadi segregasi dalam internal.

Ketiga, orang yang mengetahui informasi rahasia tentang hal-hal yang menurut mereka salah secara moral atau bertentangan dengan kepentingan umum dapat menjadi pelaku pembocoran tersebut atau sering disebut sebagai "whistleblower".

Keempat, orang mengungkapkan informasi rahasia murni untuk mendapatkan manfaat langsung bagi dirinya sendiri, seperti keuntungan finansial atau kesempatan.

Pada akhirnya leaks ini merupakan informasi yang harus dicerna oleh publik secara sadar tidak boleh emosional. Karena pada akhirnya segala sikap yang dilakukan akan menjadi terukur dan tidak berdampak buruk.

Jika leaks ini dimaksudkan untuk membuat sensasi dan menyedot perhatian khalayak, di mana memposisikan publik dipaksa secara halus untuk mendiskusikan isu tersebut padahal bukan sesuatu yang memengaruhi kebijakan orang banyak.

Bisa jadi semua itu didasari pada satu motif dasar saja: kepentingan politik praktis. Maka jika itu yang dimaksud, sudah saatnya kita menjaga jarak dengan informasi semacam itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Respons KPK Soal Harun Masiku Nyaris Tertangkap pada 2021

Respons KPK Soal Harun Masiku Nyaris Tertangkap pada 2021

Nasional
55.000 Jemaah Haji Indonesia Ikuti Murur di Muzdalifah Usai Wukuf

55.000 Jemaah Haji Indonesia Ikuti Murur di Muzdalifah Usai Wukuf

Nasional
Anggota Komisi I DPR Dukung Kemenkominfo Ancam Blokir X/Twitter karena Izinkan Konten Porno

Anggota Komisi I DPR Dukung Kemenkominfo Ancam Blokir X/Twitter karena Izinkan Konten Porno

Nasional
Sindir Wacana Bansos untuk Penjudi Online, Kriminolog: Sekalian Saja Kasih Koruptor yang Dimiskinkan...

Sindir Wacana Bansos untuk Penjudi Online, Kriminolog: Sekalian Saja Kasih Koruptor yang Dimiskinkan...

Nasional
Pemerintah Semestinya Bikin Orang Lepas dari Judi Online, Bukan Memberikan Bansos

Pemerintah Semestinya Bikin Orang Lepas dari Judi Online, Bukan Memberikan Bansos

Nasional
Soal Duet Anies dan Kaesang, PKS: Status Anak Jokowi Belum Tentu Jadi Nilai Tambah

Soal Duet Anies dan Kaesang, PKS: Status Anak Jokowi Belum Tentu Jadi Nilai Tambah

Nasional
Kepala BNPT Apresiasi Densus 88 yang Proaktif Tangkap Residivis Teroris di Cikampek

Kepala BNPT Apresiasi Densus 88 yang Proaktif Tangkap Residivis Teroris di Cikampek

Nasional
Pertamina Luncurkan 'Gerbang Biru Ciliwung' untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Pertamina Luncurkan "Gerbang Biru Ciliwung" untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Nasional
Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Nasional
Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Nasional
Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Nasional
Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan 'Bargain'

Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan "Bargain"

Nasional
Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Nasional
KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

Nasional
Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com