JAKARTA, KOMPAS.com - Program rehabilitasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia dinilai belum komprehensif.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM mengakui, hingga saat ini program rehabilitasi belum berjalan optimal.
"Rehabilitasi memang belum dijalankan optimal," kata Sekretaris Ditjen PAS Sri Puguh Budi Utami di Jakarta, Rabu (2/8/2017).
Menurut Sri, tidak mudah melakukan rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu narkoba.
Selain biaya yang tak sedikit, mekanismenya pun tidak mudah.
"Butuh kelengkapan dan seterusnya. Saat ini baru dijalankan di lapas dan rutan tertentu," kata Sri.
Tahun lalu, anggaran di pos Ditjen PAS untuk program rehabilitasi hanya Rp 400 juta.
Anggaran rehabilitasi memang naik dua kali lipat pada tahun anggaran 2017 menjadi Rp 900 juta.
Akan tetapi anggaran sebesar itu masih jauh dari ideal untuk program rehabilitasi di 48 lapas.
Sri menyebutkan, penghuni lapas yang teridentifikasi pengguna dan pecandu narkoba jumlahnya mencapai 31.306 orang.
Praktisi rehabilitasi dari Rumah Cemara Subhan Panjaitan mengatakan, rehabilitasi bukan hal baru.
Indonesia sudah mengenal rehabilitasi narkoba sejak 1976. Sayangnya, pada 1997 ada pemisahan antara rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang masing-masing dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.
Kehadiran Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan kewenangannya lantas juga menyelenggarakan program rehabilitasi sendiri.
"Saya selaku praktisi di bidang rehabilitasi 10 tahun melihat setiap instansi punya kewenangan beda-beda. Indonesia belum punya standar rehabilitasi yang berlaku secara nasional dan dipatuhi setiap K/L. Sehingga, rehabilitasi yang semestinya komprehensif menjadi terpecah-pecah," ujar Subhan.
Subhan mengatakan, ia sependapat dengan hasil investigasi Ombudsman Republik Indonesia yang menyebutkan program rehabilitasi masih belum komprehensif.
Selain itu, Subhan juga menyayangkan adanya pungli dalam program rehabilitasi.