JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy mengatakan, kebijakan lima hari sekolah dengan durasi delapan jam setiap hari ditujukan untuk para guru, bukan siswa.
Hal ini disampaikan Muhadjir dalam acara pertemuan dengan para redaktur media massa, di Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Selasa (12/7/2017).
"Mendikbud punya problem besar, itu mengenai beban kerja guru. Perundang-undangan Nomor 74 tahun 2008 disebutkan bahwa beban kerja guru (minimal) 24 jam tatap muka dalam satu minggu," kata Muhadjir.
Adapun pencapaian kuota jam mengajar tersebut merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi.
Peraturan itu membuat sejumlah guru kelimpungan. Khususnya, guru mata pelajaran Bahasa Asing, Agama, Sosiologi, dan sejumlah pelajaran lain yang kuota jam belajaranya sedikit.
Baca: Kemendikbud Sebut Sekolah Lima Hari Tak Ubah Struktur Kurikulum
Kemudian, sebagian guru memilih mengajar di tempat lain demi memenuhi kuota tersebut.
Namun, cara ini akan sulit diterapkan oleh para guru di daerah. Sebab, biasanya jarak antara satu sekolah dengan sekolah lain cukup jauh atau akses jalan yang harus dilalui terbilang sulit.
Menengahi problematika itu, Kemendikbud meregulasi kebijakan belajar mengajar.
Sekolah dengan durasi delapan jam setiap hari menjadi wacana.
"Jadi, lima hari kerja (durasi) delapan jam itu mengacu pada guru, bukan jam siswa," kata Muhadjir.
Pada penerapannya, siswa tidak harus mengikuti ekstrakurikuler di sekolah setelah kegiatan belajar mengajar.
Siswa yang punya kegiatan seperti mengaji, membantu orangtua, atau kegiatan lainnya di luar sekolah, tetap bisa menjalankan aktivitas tersebut.
Yang terpenting, kegiatan itu tetap dipantau oleh guru.
Muhadjir mengatakan, semua kegiatan siswa akan menjadi penilaian sekolah.