JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan akademisi mengkritik rencana pengaturan pasal mengenai pelibatan TNI dalam Rancangan Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).
Dosen Universitas Paramadina Shiskha Prabawaningtyas menilai, dengan diaturnya pelibatan TNI dalam RUU tersebut, pendekatan yang digunakan dalam menangani terorisme adalah pendekatan militeristik.
Namun, sejumlah riset menunjukkan bahwa pendekatan militer tidak efektif untuk menanggulangi masalah terorisme.
(Baca: Polri: Selama Ini TNI Sudah Dilibatkan Dalam Penanganan Terorisme)
Shiskha memaparkan, berdasarkan studi lembaga riset internasional bidang terorisme RAND tahun 2008, operasi militer yang dilakukan di Amerika Serikat hanya mampu menghentikan sebanyak 7 persen kelompok teroris dari total jumlah 268 kelompok teroris.
"Berdasarkan riset RAND tahun 2008, hanya 7 persen dari 268 grup bisa dihentikan melalui operasi militer," ujar Shiskha dalam diskusi bertajuk 'Dinamika Gerakan Terorisme dan Polemik Revisi UU Anti-Terorisme', di Auditorium Nurkholis Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (31/5/2017).
Di sisi lain, lanjut Shiska, penanggulangan terorisme menggunakan pendekatan militeristik akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM (Human Rights abuse).
Sebab, Indonesia belum memiliki mekanisme pengawasan yang ketat untuk mengawasi proses penindakan, penyelidikan hingga penyidikan.
Menurut Shiska, pemerintah seharusnya memperkuat program deradikalisasi yang bertujuan untuk mengubah mindset atau pola pikir seseorang yang radikal.
"Penindakan, penyelidikan dan penyidikan dengan melibatkan militer ada potensi human rights abuse. Seharusnya pemerintah memperkuat program deradikalisasi untuk mengubah mindset radikal," ujar dia.
(Baca: "Teroris Terlalu Kecil untuk Berhadapan dengan TNI AD")
Hal senada juga diungkapkan Direktur Imparsial Al Araf. Menurut dia akar dari terorisme adalah ideologi radikal yang dianut oleh kelompok tertentu.
Sedangkan persoalan ideologi tidak bisa diantisipasi dengan pendekatan represif. Akar dari terorisme adalah adanya ideologi perjuangan dan perlawanan.
Persoalan ideologi tidak bisa dijawab dengan pendekatan represif. Al Araf menuturkan, aktor penegak hukum saja tidak bisa dijadikan satu-satunya alat untuk menanggulangi terorisme.
"Untuk antisipasi itu maka yang penting adalah deradikalisasi di aspek pencegahan. Maka aktor penegak hukum tidak bisa dijadikan satu-satunya alat. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama harus memegang peranan dalam proses deradikalisasi," ujar Al Araf.
"War on terrorism ala Amerika Serikat terbukti tidak mampu mengantisipasi terorisme," kata dia.