Setidaknya terdapat dua implikasi dari keterlambatan mematuhi komitmen tersebut. Pertama, peringkat (rating) Indonesia di Global Forum akan menjadi jelek. Hal ini tentu tidak baik mengingat akan menghambat perbaikan iklim investasi yang sedang dibangun. Sejumlah lembaga keuangan global sudah memakai peringkat yang dikeluarkan oleh Global Forum sebagai dasar untuk kebijakan investasi mereka. Contohnya European Investment Bank dan International Finance Corporation (OECD, 2016).
Kedua, opportunity loss atau potensi yang hilang dari terhambatnya pelaksanaan AEOI di Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, dana ilegal (illicit fund) yang berasal dari warga negara Indonesia mencapai Rp 4.000 triliun. Kebijakan amnesti pajak terbukti belum berhasil membawa dana-dana tersebut pulang sehingga keberadaan AEOI diharapkan dapat membawa dana tersebut kembali.
Asumsikan bahwa probabilitas keberhasilan AEOI adalah 0,5, maka setidaknya dana illicit fund yang kembali mencapai Rp 2.000 triliun. Dari situ, kita bisa menghitung besaran potensi penerimaan yang hilang setidaknya dari tiga hal, yakni: (1) potensi denda perpajakan, (2) potensi penerimaan pajak (tax revenue), (3) likuiditas.Pertama, rata-rata besar denda pajak adalah sebesar 20 persen sehingga tambahan penerimaan pajak yang didapat pemerintah dari pembayaran denda mencapai Rp 400 triliun.
Kedua, dari potensi pajak sendiri. Dana yang kembali tersebut akan masuk ke dalam perekonomian nasional dan dapat menciptakan potensi pajak baru (mendorong rasio pajak). Untuk mengetahui besaran potensi pajak dari dana sebesar itu, perlu dibuat simulasi sederhana. Anggap dana tersebut akhirnya masuk ke deposito, yang setiap tahun mendapatkan bunga 5 persen, sehingga pendapatan bunga mencapai Rp 100 triliun per tahun. Dengan pajak bunga deposito sebesar 20 persen, potensi pendapatan perpajakannya sekitar Rp 20 triliun per tahun.
Ketiga, likuiditas. Guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang masih lesu, Indonesia perlu mendorong investasi. Saat ini rasio tabungan domestik terhadap produk domestik bruto (PDB) masih lebih rendah dibandingkan dengan rasio investasi terhadap PDB. Artinya, agar dapat mendongkrak investasi, Indonesia masih membutuhkan arus modal untuk menutupi kekurangan tabungan tersebut. Dana itu diperlukan untuk menutupi kekurangan dimaksud. Selain itu, apabila likuiditas tersedia, tingkat suku bunga dapat diturunkan sehingga biaya investasi akan semakin murah, yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketiga biaya tersebut yang harus dibayarkan oleh pemerintah apabila pelaksanaan AEOI tertunda. Tidak murah tentunya. Oleh sebab itu, pemerintah dan DPR harus bekerja sama untuk memastikan keikutsertaan Indonesia. Karena apabila tidak, kerugian yang ditanggung terlalu besar.
Muhammad Syarif Hidayatullah,
Peneliti Wiratama Institute
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Urgensi Perppu Informasi Pajak".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.