JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Hamdan Zoelva menilai langkah pemerintah mempercepat pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), akan dinilai sebagai langkah politik yang otoriter.
Menurut Hamdan, tidak menutup kemungkinan langkah tersebut akan kembali dilakukan oleh pemerintah terhadap organisasi kemasayarakatan (ormas) lainnya.
"Ekses ke depan kalau pemerintah mau cari gampang karena sulit untuk melalui UU, maka bikin perppu, terobos UU-nya, lewat shortcut (jalan pintas). Itu otoriter jadinya," ujar Hamdan saat ditemui di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Hamdan menuturkan, jika dilihat dari aspek hukum, langkah pembubaran ormas melalui penerbitan Perppu merupakan upaya yang sah dengan syarat adanya persetujuan dari DPR.
(Baca: Percepat Pembubaran HTI, Pemerintah Pikirkan Opsi Terbitkan Perppu)
Namun, kata mantan hakim MK itu, langkah tersebut akan memperburuk citra pemerintah dari aspek politik. Sebab, pemerintah akan dinilai terlalu memaksakan kehendaknya sendiri tanpa mempertimbangkan proses hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Secara hukum cara itu sah saja, itu konstitusional tapi secara politik tidak bagus. Pemerintah seperti memaksakan kehendak untuk menggunakan caranya sendiri," ucap Hamdan.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, Kejaksaan Agung menyarankan agar diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mempercepat upaya pembubaran HTI.
"Di UU Ormas memang ada tahapannya lewat proses hukum, itu butuh waktu lebih kurang 4-5 bulan. Tapi usul Jaksa Agung kan memungkinkan dengan Perppu," kata Tjahjo, di Jakarta, Selasa (16/5/2017).
(Baca: Wawancara Khusus, HTI Bicara soal Pembubaran hingga Wacana Khilafah)
Politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini, mengatakan, DPR RI akan membahas usulan pemerintah tersebut dalam rapat paripurna pada Kamis (18/5/2017).
"DPR juga akan paripurna membahas itu (Perppu). Sekarang akan kita lihat mana yang lebih tepat, itu saja secara prinsip," kata Tjahjo.
Ia menegaskan, pada dasarnya, pemerintah menghargai hak setiap warga negara untuk berserikat. Akan tetapi, ormas di Indonesia wajib berasaskan atau berideologi tunggal yakni Pancasila.
"Azas tunggal Pancasila harus masuk dalam setiap partai politik, ormas. Setiap warga boleh berserikat tapi asal asasnya tunggal. Dalam konteks berbangsa dan bernegara harus tunduk pada peraturan," kata dia.