Integritas yang tergadai
Euforia "reformasi" melahap integritas intelektual. Korupsi terjadi bukan hanya di lembaga pemerintahan dan parlemen, melaikan juga di sebagian komisi ad hoc yang dibentuk pada era ini. Maklum, gaya hidup masa kini menuntut segala hal ditakar dengan uang. Tidak banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang murni memperjuangkan hak-hak publik. Sebagian akademisi banting setir ke bisnis jasa layanan politik dengan kacamata kuda. Tunas muda rentan tergiur gengsi sosialita politik,dan tak sedikit terpukau sihir politik kekuasaan.
Tentu ada yang bertahan menjaga kemurnian harkat intelektual. Mereka tekun menulis, tetapi buku tidak laku dan jurnal ilmiah terasing dari komunitas cendekiawan sendiri. Sebagian lagi memilih jadi penonton diam, karena wacana ilmiah di jejaring sosial rentan dimanipulasi jadi materi provokasi. Pikiran lebih banyak terlontar dalam ringkasan, minus eksplorasi-elaborasi.
Pasar pemikiran sepi karema cendekiawan berduyun-duyun ke pasar suara yang basah di media sosial atau di ruang negosiasi bisnis pemilu dengan pengurus partai politik. Penyair "kemproh" gagap di depan realitas necis walau menyaksikan kebusukan di balik segala sesuatu yang tampak beres, anggun, resik, dan saleh. Puisi jadi tumpul. Genit, tetapi kalah gengsi.
Dekadensi moral membusukkan para intelektual dan standar lembaga politik dan keagamaan. Memang, cendekiawan bukan segala-galanya. Namun, jika bicara tentang hati nurani bangsa, mereka adalah garda. Cendekiawan datang dari berbagai agama, tak sedikit yang juga ulama. Manakala tirani menindas kemanusiaan, merekalah hati nurani yang bicara melawan diktator.
Suara jernih kaum intelektual adalah bekal publik untuk mengingatkan sesamanya atau rezim penguasa demi keadilan, harga pangan terjangkau, upah layak, anti-diskriminasi, toleransi dan lain-lain. Sebelum orde "Reformasi" mengganyang rezim Orde Baru, harga diri kecendekiaan relatif mapan berkat posisi kaum intelektual selaku oposan penguasa yang represif kala itu.
Kita sedang menggoreskan korek api untuk membakar citraan Negeri Bahagia kita, meski ada yang menepis tangan kita hingga korek api itu jatuh. Entah kenapa dengan bandel kita pungut lagi batang korek itu. Mengapa kita benci Negeri Kepulangan, tempat berlindung di hari tua?
Di Negeri Bahagia, setiap orang dituntut rela berbagi dalam berbagai hal, terutama nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Tanpa kerelaan tersebut, citraan indah itu hanya ada dalam lagu manis yang diputar berulang-ulang.
Kurnia JR,
Sastrawan
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Negeri Bahagia".