Makna pseudo-korupsi desa acap bersumber pada regulasi pemerintah. Apalagi ruang ketidakpastian hukum membesar karena kementerian masih bersaing menyajikan aturan yang bertumpang tindih maupun berlawanan. Ketidakpastian hukum pun meluas akibat minimnya aturan tentang korupsi desa.
UU No 6/2014 telah melarang kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Namun, sanksi korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.
Karena itu, paling tepat Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BPKP, kepolisian, kejaksaan, dan KPK bersama-sama mengharmoniskan aturan korupsi desa. Isinya indikator dan jenis korupsi desa, tata cara pelaporan dan perlindungan saksi, proses pencegahan dan pembuktian korupsi, dan sanksi bagi kepala desa, perangkat desa, serta anggota BPD.
Pada saat bersamaan, perlu diusung advokasi bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD yang disangka korupsi. Apalagi, peraturan Mendagri No 82/2015 membuka ruang pembelaan sebelum diberhentikan sesudah hukuman berkeputusan tetap. Inovasi nomor kepegawaian daerah bagi mereka, seperti di Serang dan Cirebon, bisa menjadi dasar advokasi oleh pemerintah daerah dan pusat. Asosiasi kepala desa, perangkat desa, dan BPD juga dapat mengadvokasi proses legal mereka.
Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Memilah Korupsi Desa".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.