JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Ketua DPR Setya Novanto dicegah ke luar negeri, padahal masih berstatus sebagai saksi.
"Buat apa sih dicegah, memang Novanto mau lari ke luar negeri bawa apa?" kata Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/4/2017).
Ia pun menyadari adanya nota keberatan dari DPR kepada Presiden Joko Widodo atas status pencegahan Novanto akan membuat publik mencurigai DPR. Seolah, DPR hendak mengintervensi proses hukum di KPK.
Namun, menurut Fahri Hamzah, pemerintah semestinya juga melihat aturan hukum yang ada, seperti putusan MK, yang membatalkan pasal pencegahan seseorang yang berstatus saksi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Menurut Fahri, dalam hal ini, aturan hukum dan etika kelembagaan yang telah diterobos oleh pemerintah lebih penting untuk segera dikoreksi dengan tetap memperhatikan kritik dari masyarakat.
"Soal publik, mari kita jawab bersama-sama. Tapi ini kan soal koridor hukum yang dilanggar. Cobalah kita sama-sama patuhi aturan hukum yang sudah tertulis. Jangan dilanggar-langgar," ujar Fahri.
(Baca juga: KPK Minta DPR Hormati Pencegahan Setya Novanto ke Luar Negeri)
DPR sebelumnya berencana melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan Ketua DPR RI Setya Novanto ke luar negeri.
Langkah tersebut menindaklanjuti nota keberatan Fraksi Partai Golkar dan telah menjadi surat resmi kelembagaan karena telah disepakati dalam rapat Bamus, Selasa (11/4/2017) malam.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengoreksi sikap DPR yang melayangkan nota protes kepada Presiden Jokowi atas status pencegahan Ketua DPR Setya Novanto selaku saksi dalam kasus korupsi e-KTP.
(Baca juga: Yusril Ungkap Celah Hukum dalam Pencegahan Setya Novanto)
Yusril menyatakan, permintaan pencegahan seorang saksi oleh KPK diberikan oleh undang-undang yang ikut dibuat oleh DPR dengan Presiden yang tercantum pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan, pasal pencegahan seorang saksi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 memang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui amar putusan Nomor nomor 64/PUU-IX/2011.
Dengan demikian, hanya orang yang berstatus tersangka saja yang baru bisa dicekal.
"Masalahnya, Undang-Undang KPK yang membolehkan mencekal saksi, masih berlaku dan belum pernah diubah atau dibatalkan oleh MK," kata Yusril.