Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minoritas Diam yang Tak Puas Kinerja Presiden

Kompas.com - 05/04/2017, 19:19 WIB

Oleh: Ono Surono

Rakyat Indonesia puas atas kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan angka 66,4 persen, jauh meninggalkan rakyat yang merasa tidak puas dengan angka yang hanya 32,0 persen.

Kekuatan mendengar suara rakyat, realisasi program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), serta persepsi perubahan nyata adalah tiga aspek tertinggi dalam mengukur kepuasan rakyat.

Beberapa aspek yang membuat rakyat tidak puas ternyata didominasi kurangnya lapangan pekerjaan, kebijakan hanya untuk sekelompok orang, dan cap Jokowi sebagai boneka PDI-P.

Rakyat juga mengukur tingkat keberhasilan pemerintahan Jokowi dari aspek program pembangunan yang meningkat, pelayanan pendidikan yang lebih baik, dan adanya KIS. Selain itu, kegagalan yang mengemuka adalah Jokowi dianggap pemimpin boneka, harga kebutuhan pokok tidak stabil, dan pelayanan kesehatan belum baik.

Kinerja para menteri tidak luput dari penilaian rakyat. Menteri Susi Pudjiastuti menempati urutan teratas dengan angka 26,3 persen, disusul Lukman Hakim Saifuddin dengan angka 12,3 persen.

Beberapa aspek yang memberikan nilai positif dalam mengukur kinerja kedua menteri itu adalah kemampuan memberantas pencurian ikan, ketegasan dan kinerja yang baik, penambahan kuota haji, penertiban kapal asing, dan pendidikan keagamaan yang bertambah maju.

Survei evaluasi publik

Semua hal itu terangkum dalam hasil survei yang dilakukan lembaga Indo Barometer dengan judul "Evaluasi Publik Dua Setengah Tahun Pemerintahan Jokowi-JK".

Beberapa kesimpulan yang mengemuka adalah rakyat merasa puas atas kinerja pemerintahan Jokowi dengan angka 66,4 persen, menginginkan kembali Jokowi menjadi presiden dengan angka 57,8 persen.

Jokowi sebagai calon presiden terkuat jika dilakukan pilpres hari ini dengan angka 45,6 persen. Dan, jika head to head dengan Prabowo Subianto, Jokowi menang dengan angka 50,2 persen, jauh meninggalkan Prabowo dengan angka 28,8 persen.

Figur Jusuf Kalla malah kebalikan dari Jokowi. Apabila saat ini dilaksanakan pilpres dan Kalla mencalonkan sebagai presiden, peluangnya hanya 11,5 persen, bahkan lebih banyak yang tidak akan memilih, yaitu 59,6 persen.

Lalu, siapakah 32,0 persen rakyat yang menyatakan tidak puas/kurang puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla? Sayang, Indo Barometer tidak menginformasikan segmentasi rakyat yang disurvei. Kelompok masyarakat yang disurvei hanya berdasarkan batasan daerah, jenis kelamin, umur, desa/kota, dan suku/ras.

Survei itu tidak bisa mengukur tingkat kepuasan rakyat berdasarkan sektoral, misalnya bagaimana nelayan menilai kinerja Presiden Jokowi dengan berbagai macam program prioritas yang dijalankan Susi Pudjiastuti.

Misalnya, program kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan yang tidak hanya memberantas pencurian ikan dan penertiban kapal asing, tetapi juga program yang menyasar semua strata nelayan.

"Silent minority" 

Selama ini, rakyat kecil hanya bisa berteriak untuk menyampaikan aspirasi. Namun, mereka diimpit keadaan, kebutuhan ekonomi, hingga akhirnya berhenti beraspirasi.

Saat ini, mereka menjadi kelompok silent minority karena sudah lelah dan menjadi diam. Mereka sibuk menyambung hidupnya. Merekalah yang sebenarnya berharap besar kepada Presiden Jokowi untuk membantu mengubah nasib mereka.

Apalagi, janjinya saat menjadi calon presiden tertuang dalam Piagam Perjuangan Desa Karangsong. Isinya, "Saya Joko Widodo calon presiden Republik Indonesia menyatakan siap berjuang dan bekerja keras untuk perbaikan nasib dan hidup nelayan dan keluarganya di seluruh Indonesia".

Sekarang para nelayan itu memiliki slogan "Kesabaran Revolusioner". Mereka juga punya semboyan yang lain, "Satyam Eva Jayate, Kebenaran yang Akan Menang". Siapakah mereka?

Mereka adalah nelayan yang (1) menjadi korban PHK perusahaan kapal perikanan yang berjumlah 1.132 unit dan unit pengolahan ikan, (2) pendapatannya berkurang karena tidak bisa menangkap lobster, kepiting, dan rajungan, (3) kehilangan pekerjaan saat cantrang dan sejenisnya dilarang per Juli 2017, (4) dipenjara dan sedang proses diadili dengan tuduhan tindak pidana perikanan, (5) kesulitan mendapatkan izin kapal, (6) tidak kebagian bantuan kapal dan alat tangkap, (7) membayar pajak perikanan, tetapi tidak ada timbal balik dari pemerintah jika mereka mengalami musim paceklik dan musibah, (8) tidak bisa menjual ikan seperti dulu karena keterbatasan kapal angkut ikan hidup, (9) tidak mendapat program KUR mikro karena bank menolak pengajuan mereka.

Perhatikan nelayan

Merekalah nelayan Indonesia yang menjadi tulang punggung kembalinya kejayaan Indonesia dalam bidang maritim.

Merekalah yang menjadi modal utama harapan pendiri bangsa dan negara Indonesia, Ir Soekarno, dengan kalimatnya yang terkenal, "Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya".

"Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi, bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."

Saatnya Presiden Jokowi kembali menyapa dan mendengar nelayan Indonesia yang dahulu pernah dikunjunginya sehingga mereka tidak menjadi kelompok silent minority.

Ono Surono
Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN); Ketua Umum Induk Koperasi Perikanan Indonesia (IKPI); Anggota Komisi IV DPR

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Minoritas Diam yang Tak Puas Kinerja Presiden".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com