JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan Kejaksaan Agung memperpanjang Nota Kesepahaman (MoU) hingga tiga tahun ke depan.
Kesepakatan itu diyakini akan memperkuat sinergitas tiga lembaga itu dalam menangani perkara korupsi.
Namun, ada beberapa poin yang dinilai justru memperlemah penegakan hukum.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting mencontohkan, KPK punya keistimewaan untuk langsung melakukan penggeledahan tanpa harus ada persetujuan pengadilan.
Itu diatur undang-undang. Sementara, dalam nota kesepahaman disebutkan bahwa penggeledahan harus diketahui oleh pimpinan instansi yang personelnya menjadi sasaran penggeledahan.
"Dengan pemberitahuan itu, KPK sedang menurunkan kualitas dan keistimewaan yang diberikan undang-undang," ujar Miko kepada Kompas.com, Rabu (29/3/2017).
(Baca: Nota Kesepahaman KPK, Polri, dan Kejaksaan Jangan Jadi Upaya Saling Melindungi)
Miko mengatakan, dalam penggeledahan dan penyitaan, yang disasar adalah individu bukan institusi. Pemberitahuan tersebut dikhawatirkan justru merusak keutuhan barang bukti.
Selain itu, ada juga poin yang menyebutkan bahwa KPK memanggil anggota polisi atau jaksa sebagai saksi, maka harus diberitahu kepada pimpinan lembaga yang anggotanya akan diperiksa.
Kesepakatan itu juga berlaku untuk Polri dan Kejagung. Menurut dia, semestinya tak perlu ada pemberitahuan karena tak ada kaitan dengan institusi.
"Justru dengan pemberitahuan seakan-akan tidak ada pemisahan antara perbuatan individu dan institusi," kata Miko.
Selain itu, hal lain yang disoroti yaitu pemeriksaan personel salah satu pihak harus didampingi bantuan advokat dari pihak terperiksa.
Pemeriksaan pun dilakukan di kantor pihak yang dipanggil.
Menurut Miko, kesepakatan tersebut seolah mengesampingkan prinsip kesamaan di mata hukum karena diperlakukan berbeda dengan masyarakat biasa yang tersandung kasus hukum.
Untuk pemeriksaan sebagai saksi, tidak perlu ada pendampingan hukum. Kecuali statusnya ditetapkan sebagai tersangka.
Miko mengatakan, kerja sama tiga lembaga penegak hukum itu penting, namun tetap harus sesuai koridor hukum acara pidana dan Undang-undang KPK.
(Baca: Fahri Anggap KPK Tak Paham UU karena Bikin Mou dengan Polri dan Kejagung)
"Sebaiknya KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan kembali pada prosedur dan penggeledahan yang diatur KUHAP di mana tidak memerlukan prosedur pemberitahuan kepada pimpinan institusi yang anggotanya sedang digeledah dan diperiksa," kata Miko.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Raharjo menilai, pihaknya tak mempermasalahkan hal tersebut. Menurut dia, poin-poin yang ditetapkan dalam nota kesepahaman sesuai dengan undang-undang.
"Kita mengikuti sesuai dengan undang-undang saja. Justru penyempurnaan dari MoU sebelumnya," ujar Agus.
Sementara itu, menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, aturan tersebut sudah lama bergulir dalam kesepakatan sebelumnya.
Beberapa anggota polisi pernah diperiksa dalam kaitan kasus korupsi di KPK dan didampingi oleh advokat internal.
"Karena di internal kita kemungkinan pihak tertentu yang diminta keterangan tidak paham dengan hukum yang dihadapi. Itu normal saja," kata Boy.
(Baca: Komisi III Akan Pelajari MoU KPK, Kejagung, dan Polri)
Pemeriksaan itu, kata Boy, dilakukan di kantor polisi. Hal tersebut justru mempermudah proses hukum karena keterbatasan waktu penyidikan.
Boy mengatakan, anggota polisi punya kesibukan sehingga mungkin tak sempat datang ke kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan.
"Koordinasinya jadi pada upaya mempercepat proses pelaksanaan karena sedang bertugas, sama-sama profesi menangani korupsi, jadi sesuatu yang biasa," kata Boy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.