Respons kebijakan
Setidaknya terdapat sejumlah upaya yang dapat dilakukan.
Pertama, pemastian sistem proteksi. Upaya proteksi negara dari bahaya pornografi di internet cukup beragam. Kebijakan pemerintah yang ditetapkan berkorelasi dengan pilihan adopsi sistem pemerintahan setiap negara. Arab Saudi dan China, misalnya, membuat server atau membatasi informasi dan konten bermuatan pornografi melalui pembekal layanan internet. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, sensor di internet juga diberlakukan, tetapi bukan oleh pemerintah, melainkan muncul dari masyarakat yang menggerakkan agar internet dikelola sebagai media yang sehat.
Mengingat derasnya arus pornografi di Indonesia, upaya pemastian proteksi agar pornografi tak menjadi konsumsi anak dan anak sekaligus tak menjadi korban merupakan keniscayaan. Regulasi telah ada, kebijakan telah terbit, bahkan gugus tugas telah dibentuk sebagai perwujudan komitmen negara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan banyak hal dengan beragam program dan strateginya. Namun, upaya yang telah ada itu tampaknya belum sebanding dengan kompleksitas bisnis pornografi yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Apalagi akhir-akhir ini anak-anak menjadi sasaran jaringan bisnis pornografi.
Kedua, kriminalisasi pelaku dan jaringan bisnis. Seharusnya tidak ada toleransi bagi pebisnis pornografi, apalagi yang menjadikan anak-anak sebagai obyek. Sangat berbahaya.
Langkah kepolisian menangkap sejumlah pelaku merupakan sinyal positif bagi penegakan hukum. Jika gurita bisnis besar yang terus melancarkan promosi di laman-laman internet dapat dibongkar habis hingga akar-akarnya, ini merupakan kabar baik bagi kriminalisasi pelaku kejahatan bisnis pornografi (sebab pintu memasuki pornografi sering kali memicu kejahatan seks terhadap anak-anak). Upaya membongkar habis sampai ke akar-akarnya itu merupakan realisasi komitmen besar Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memerangi kejahatan seks terhadap anak-anak.
Ketiga, literasi internet sehat. Penelitian yang didukung Unicef (2014) sebagai bagian dari program Digital Citizenship Safety melaporkan bahwa usia 10 sampai 19 tahun merupakan kelompok populasi terbesar pengakses internet. Namun, tak semua anak usia itu memiliki literasi cukup dalam pemanfaatannya. Pembentukan kemampuan penggunaan internet yang baik akan tumbuh karena adanya literasi membaca dan menulis, literasi audio visual, dan literasi digital. Semua itu dapat membentuk anak-anak jadi kritis dalam menggunakan internet dan meningkatkan kemampuan hingga kreativitas dalam penggunaan internet. Literasi internet amat mendesak.
Dari sejumlah kasus anak yang dilaporkan, mengapa anak terjebak menjadi korban porno dan pelaku penyebar konten pornografi, diperoleh bahwa rata-rata karena lemahnya literasi penggunaan internet. Maka, upaya literasi bagi anak-anak usia dini, usia pendidikan dasar, dan usia sekolah menengah merupakan kebutuhan prinsip sehingga penting terintegrasi pengasuhan dan pembelajaran di sekolah agar anak dipastikan aman.
Keempat, pembudayaan nol pornografi. Anak-anak pengakses porno dipengaruhi oleh banyak hal, seperti teman sebaya, kakak kelas, tetangga, bahkan sebagian orangtua. Tak sedikit kasus ditemukan, anak mengetahui porno karena orangtua lupa menutup konten porno yang telah dibuka. Inilah perkenalan awal dunia pornografi pada anak. Maka, benar kata orang bijak, ”Ubahlah perilakumu sebelum menginginkan anak-anak kalian menjadi orang baik.” Tentu tak ada upaya baik yang instan. Semua membutuhkan proses dan waktu. Tinggal kapan memulai dan seberapa jauh memegang teguh konsistensi. Semoga.
Susanto,
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Alumnus Program Doktor Universitas Negeri Jakarta
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Memerangi Pornografi Anak".