Jeprizal mengatakan, keterbatasan sinyal telepon seluler menyulitkan warga ikut menjaga keamanan laut. Kerap warga melihat nelayan asing mencuri ikan di perairan Anambas. Namun, mereka tak bisa segera melapor karena sedang jauh dari darat. Jika harus kembali, mereka membutuhkan lebih dari dua jam untuk mencapai daratan atau paling sedikit 1,5 jam berlayar untuk mencapai perairan yang terjangkau sinyal seluler.
Warga di Kepri juga butuh tambahan frekuensi pelayaran. Sebagai provinsi dengan 96 persen wilayah berupa laut, Kepri mengandalkan pelayaran sebagai sarana transportasi utama. Namun, kapal-kapal yang dioperasikan Pelni hanya singgah 11 hari sekali di sejumlah pulau besar.
Manfaat ekonomi
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menuturkan, kerja keras pemerintah untuk membangun perbatasan patut diapresiasi. ”Pembangunan fisik itu akan berdampak besar bagi masyarakat jika tata niaga di perbatasan dibenahi,” katanya.
Jalur perbatasan Indonesia- Malaysia, misalnya, belum bisa untuk ekspor-impor dalam skala besar. Selama ini, tata niaga di perbatasan diatur dalam Perjanjian Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia. Perdagangan hanya boleh 600 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 2 juta orang per bulan. Itu hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Jika aturan tata niaga itu tidak direvisi, bagaimana ekonomi masyarakat bisa berkembang?” tanyanya.
Pemerintah juga hendaknya mulai merancang pelabuhan darat. Kini, perbatasan di Kalbar belum dapat izin ekspor-impor karena tak ada pelabuhan darat.
Ewin Ignatius (35), pelaku usaha di Entikong, menuturkan, pelaku usaha dan masyarakat sudah siap mengekspor komoditas unggulan. ”Tinggal menunggu fasilitasnya saja,” ujarnya. (EDN/ESA/RAZ/MHD/ZAL/PRA/HAM)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2017, di halaman 1 dengan judul "Perbatasan Jadi Tantangan".