Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebebasan dan Demokrasi Kebablasan

Kompas.com - 16/03/2017, 22:01 WIB

Populisme

Lalu dari mana narasi kebablasan itu muncul? Kemungkinan besar dari tendensi populisme elite. Tulisan Sheri Bermen di Foreign Affairs (November/Desember 2016), ”Populism is not Fascism”, menjelaskan perbedaan antara fasisme dan populisme dalam hubungannya dengan demokrasi. Tak sedikit yang menganggap populisme sama dengan fasisme karena muncul dari krisis yang melahirkan narasi pembelaan terhadap kepentingan bangsa. Mereka mengandaikan ada kekuatan luar yang hendak menghancurkan negeri dan mereka lahir untuk melawan dan melindungi. Ada ”kita” yang diserang dan perlu mempertahankan diri, ada ”mereka” yang menyerang sebagai musuh.

Pada tataran itu, tampak bahwa para fasis dan populis menggunakan narasi yang mirip. Menjadi berbeda jika kita melihat bagaimana mereka memperlakukan sistem demokrasi. Para fasis menganggap demokrasi bagian dari ancaman atau setidaknya memperlemah posisi bangsa. Karena itu, yang pertama mereka hancurkan ketika berkuasa adalah sistem demokrasi, diganti dengan otoritarianisme.

Sebaliknya, kaum populis datang dengan gagasan bahwa demokrasi ada dalam bahaya atau setidaknya sedang tidak dalam kondisi baik. Tuntutan utama mereka adalah memulihkan demokrasi yang mereka anggap sedang sakit. Di sini, narasi ”demokrasi kebablasan” mendapat tempat. Merek ingin mendudukkan demokrasi yang keluar rel kembali ke jalur yang benar.

Persoalannya, jalur demokrasi yang benar itu ada dalam persepsi para elite. Mereka mengandaikan tata kehidupan ideal yang jika itu tak terjadi, mereka merasa berhak mewujudkannya dengan menggunakan aparat yang mereka kuasai. Di sana, elite yang memiliki otoritas akan mulai mengintervensi kehidupan warga. Mereka mengintervensi percakapan dan gagasan warga. Mereka menentukan yang baik dan yang buruk bagi warga.

Maka, akan muncul sensor percakapan publik. Media dibatasi. Film disensor. Gambar-gambar media diburamkan. Jurnalis ditangkap. Ekspresi beragama dibatasi. Jika itu yang terjadi, bukan tak mungkin predikat kita sebagai negara partly free akan semakin tenggelam ke unfree.

Keriuhan yang terjadi belakangan ini tidak bisa diselesaikan dengan mengurangi kebebasan dasar yang menjadi fondasi tegaknya demokrasi. Yang perlu dilakukan justru memperluas kebebasan dengan menjamin hak setiap warga untuk tidak diperlakukan semenamena oleh orang lain atas dasar apa pun.

Saidiman Ahmad
Peneliti SMRC, Alumnis Crawford School of Public Policy, Australian National University

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Kebebasan dan Demokrasi Kebablasan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com