Populisme
Lalu dari mana narasi kebablasan itu muncul? Kemungkinan besar dari tendensi populisme elite. Tulisan Sheri Bermen di Foreign Affairs (November/Desember 2016), ”Populism is not Fascism”, menjelaskan perbedaan antara fasisme dan populisme dalam hubungannya dengan demokrasi. Tak sedikit yang menganggap populisme sama dengan fasisme karena muncul dari krisis yang melahirkan narasi pembelaan terhadap kepentingan bangsa. Mereka mengandaikan ada kekuatan luar yang hendak menghancurkan negeri dan mereka lahir untuk melawan dan melindungi. Ada ”kita” yang diserang dan perlu mempertahankan diri, ada ”mereka” yang menyerang sebagai musuh.
Pada tataran itu, tampak bahwa para fasis dan populis menggunakan narasi yang mirip. Menjadi berbeda jika kita melihat bagaimana mereka memperlakukan sistem demokrasi. Para fasis menganggap demokrasi bagian dari ancaman atau setidaknya memperlemah posisi bangsa. Karena itu, yang pertama mereka hancurkan ketika berkuasa adalah sistem demokrasi, diganti dengan otoritarianisme.
Sebaliknya, kaum populis datang dengan gagasan bahwa demokrasi ada dalam bahaya atau setidaknya sedang tidak dalam kondisi baik. Tuntutan utama mereka adalah memulihkan demokrasi yang mereka anggap sedang sakit. Di sini, narasi ”demokrasi kebablasan” mendapat tempat. Merek ingin mendudukkan demokrasi yang keluar rel kembali ke jalur yang benar.
Persoalannya, jalur demokrasi yang benar itu ada dalam persepsi para elite. Mereka mengandaikan tata kehidupan ideal yang jika itu tak terjadi, mereka merasa berhak mewujudkannya dengan menggunakan aparat yang mereka kuasai. Di sana, elite yang memiliki otoritas akan mulai mengintervensi kehidupan warga. Mereka mengintervensi percakapan dan gagasan warga. Mereka menentukan yang baik dan yang buruk bagi warga.
Maka, akan muncul sensor percakapan publik. Media dibatasi. Film disensor. Gambar-gambar media diburamkan. Jurnalis ditangkap. Ekspresi beragama dibatasi. Jika itu yang terjadi, bukan tak mungkin predikat kita sebagai negara partly free akan semakin tenggelam ke unfree.
Keriuhan yang terjadi belakangan ini tidak bisa diselesaikan dengan mengurangi kebebasan dasar yang menjadi fondasi tegaknya demokrasi. Yang perlu dilakukan justru memperluas kebebasan dengan menjamin hak setiap warga untuk tidak diperlakukan semenamena oleh orang lain atas dasar apa pun.
Saidiman Ahmad
Peneliti SMRC, Alumnis Crawford School of Public Policy, Australian National University
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Kebebasan dan Demokrasi Kebablasan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.