Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/03/2017, 22:33 WIB

Oleh: Lalu Muhamad Iqbal

Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia pada 1-9 Maret 2017 menjadi topik tren (trending topic), baik di media arus utama maupun media sosial selama beberapa minggu terakhir. Ini adalah babak baru dalam hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi setelah kunjungan terakhir Raja Arab Saudi 47 tahun lalu.

Kunjungan ini memang fenomenal. Ini kunjungan kenegaraan oleh kepala negara sahabat yang terbesar sejak Indonesia merdeka. Jauh lebih besar daripada kunjungan Presiden Barack Obama pada 2010. Bagi Arab Saudi, kunjungan kenegaraan ke Indonesia kali ini juga kunjungan ke luar negeri terbesar dan terlama. Dengan jumlah anggota rombongan mencapai 1.500 orang, kunjungan ini jauh lebih besar daripada kunjungan ke Malaysia pada 26-28 Februari 2016 yang "hanya" diikuti sekitar 600 anggota rombongan.

Kunjungan fenomenal ini bukanlah sebuah kebetulan. Konstelasi politik global dan regional di Timur Tengah (Timteng) serta faktor-faktor ideosinkretik ikut melatarbelakangi kunjungan ini.

Perubahan konstelasi regional

Perbaikan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat pada umumnya dengan Iran seputar isu nuklir Iran mengubah total peta politik dan perimbangan kekuatan di Timteng. Puncaknya adalah ditandatanganinya Comprehensive Agreement on the Iranian Nuclear Program di Lausanne, 2 April 2015 oleh Iran dengan tujuh pihak (AS, Rusia, Perancis, Jerman, China, Inggris, dan Uni Eropa). Hubungan Arab Saudi (bersama lima negara Teluk lainnya) dengan  Iran dan AS (bersama negara Barat lainnya) adalah segitiga hubungan yang sangat unik. Segitiga hubungan ini menjadi pilar konstelasi politik dan perimbangan kekuasaan di Timteng.

Arab Saudi adalah negara terbesar di Timteng dan praktis menjadi sekutu utama AS di Timteng sejak Revolusi Iran 1979.  Intensitas saling ketergantungan kedua negara sangat tinggi. Bagi Saudi, AS adalah penyuplai senjata dan sistem pertahanan utama. Pada periode 2011-2015, Saudi adalah pembeli terbesar alutsista dari AS. Selain itu, AS adalah penyedia payung politik dan keamanan utama yang menjadikan Saudi negara teraman di Timteng selama ini.

Sementara itu, bagi AS, Saudi adalah penyuplai minyak utama dan salah satu dari pemegang terbesar surat utang Pemerintah AS. Menurut data resmi Pemerintah AS, Saudi memiliki surat utang Pemerintah AS senilai  116,8 miliar dollar AS dengan total kepemilikan dana dan aset di AS mencapai sekitar 750 miliar dollar AS. Diyakini bahwa langkah apa pun yang akan dilakukan Saudi untuk menggerakkan aset sebesar itu di AS, akan memiliki dampak luas terhadap perekonomian AS secara keseluruhan.

Sementara itu, AS dan Iran tak pernah memiliki hubungan diplomatik resmi sejak Revolusi Iran. Selama beberapa dekade AS melihat Iran sebagai salah satu ancaman utama. AS menganggap Iran, melalui proksi-proksinya,  sebagai sponsor utama terorisme di Timteng. Presiden Bush bahkan menyebut Iran bagian dari "persekutuan iblis" (axis of evil). Manifestasi paling nyata dari perseteruan AS-Iran adalah isu program nuklir Iran yang berangkat dari dugaan bahwa Iran memiliki aspirasi membangun persenjataan nuklir.

Di lain pihak, hubungan Saudi-Iran selalu kental dengan persaingan pengaruh di kawasan Timteng. Persaingan itu menjadi semakin kental karena bernuansa rasial (Arab-Persia) dan sektarian (Sunni-Syiah). Saudi menganggap Iran sebagai bahaya nyata, bahkan mungkin lebih nyata ketimbang Israel. Faktor keislaman (baca: Organisasi Kerja Sama Islam) faktanya adalah satu-satunya faktor yang menjadikan kedua negara tetap memiliki komunikasi resmi selama ini.

Dengan konstelasi yang demikian, perbaikan hubungan AS-Iran pasca April 2015 jelas seperti mimpi di siang bolong bagi Saudi. Ini menjadikan Saudi sadar bahwa mereka tidak dapat lagi bergantung sepenuhnya kepada sekutu Barat, khususnya AS. Ini menyadarkan Saudi untuk membangun kembali silaturahmi dan persekutuan dengan kekuatan-kekuatan dunia lainnya yang selama ini terabaikan. Dalam hal ini, negara-negara  besar di dunia Islam adalah pilihan paling realistis.

Arah baru ini terekam jelas saat Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melakukan kunjungan kehormatan  pertama kali kepada Raja Salman di Jeddah, Mei 2015. Dalam pertemuan itu, Raja Salman menegaskan keinginannya memperkuat kembali hubungan bilateral dengan negara-negara Islam. "On the top of the list is Indonesia (nomor satu dalam daftar itu adalah Indonesia)," ucap Raja Salman ketika itu.

Babak baru hubungan bilateral

Melihat konstelasi politik yang berkembang di kawasan Timteng itu pastilah bukan suatu kebetulan jika Presiden Joko Widodo memerintahkan Menlu Retno Marsudi melakukan kunjungan ke Arab Saudi pada Mei 2015, hanya empat bulan sejak Raja Salman naik takhta. Dalam kunjungan tersebut, Menlu Retno diterima oleh Raja Salman dan menjadikannya pejabat tinggi perempuan pertama dari negara sahabat yang diterima langsung oleh Raja Salman.

Kunjungan Menlu Retno itu disusul dengan kunjungan yang lebih tinggi dengan kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi kepada Raja Salman pada September 2015. Dalam kunjungan tersebut, Presiden Jokowi menjadi kepala negara pertama yang disambut langsung Raja Salman di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Dalam kunjungan itu, Presiden Jokowi dianugerahi penghargaan Star of the Order of King Abdulazis Al-Saud, penghargaan sama yang pernah diberikan Raja Arab Saudi kepada Presiden Obama sebelumnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com