JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis mengatakan, sentimen rasialis dan agama tertentu menjadi bagian dari sejarah tumbuh kembangnya Indonesia. Namun, pada zaman reformasi terjadi peningkatan arus intoleransi di masyarakat.
"Pada zaman reformasi ini sentimen rasialis, anti etnis dan agama tertentu mencapai puncak yang tidak pernah kita alami sebelumnya," kata Todung di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (27/2/2017).
Todung menuturkan, pada era demokrasi liberal tahun 1950, terjadi pertentangan ideologi yang tajam antara kelompok islam dan komunisme. Meski demikian, kata dia, ujaran kebencian tidak berlangsung secara masif seperti yang terjadi belakangan ini.
Menurut Todung, ujaran kebencian di era Orde Baru juga tidak dapat menandingi ujaran kebencian pasca reformasi.
"Saya tidak katakan saya setuju dengan Orba (Orde Baru), tapi zaman reformasi ini berikan begitu banyak ruang untuk berkembang biaknya ujaran kebencian, sentimen rasialis yang membonceng di sana," ujar Todung.
Selain itu, Todung juga menyoroti maraknya penyebarangan berita palsu atau hoax. Apalagi, semua wacana bisa diciptakan dengan dukungan perkembangan teknologi.
Dalam konteks Indonesia, ia menilai cukup aneh isu komunisme tetap tercipta. Padahal, lanjut dia, komunisme telah lama bangkrut di seluruh dunia.
"Padahal komunisme sudah bangkrut di dunia. Yang ada di Korea Utara, itu juga bukan komunis, tapi fasis," ucap Todung.