Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi PKB: Hak Angket Seharusnya Tak Hanya untuk Status Ahok

Kompas.com - 13/02/2017, 23:21 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belum memutuskan untuk mendukung hak angket terkait status Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang aktif kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKB, Lukman Edy menuturkan, pihaknya ingin jika hak angket tak hanya digulirkan berkaitan dengan status Ahok namun juga atas beberapa masalah.

"Kalau satu-satu tidak strategis. Secara keseluruhan tiga kami usulkan," kata Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2016).

Pertama, soal kisruh Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Hingga H-2 penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017, permasalahan e-KTP masih ada. Termasuk masyarakat yang belum melakukan perekaman e-KTP.

"Padahal tugas-tugas ini dari awal sudah kami ingatkan pada pemerintah, KPU, Bawaslu untuk membahas. Ini tinggal tiga hari jelang Pilkada persoalan masih ada," ujarnya.

(Baca: Lama-lama Pansus dan Hak Angket Jadi Isu Murahan)?

Kedua, kisruh Pilkada di 18 kabupaten/kota yang berkaitan dengan objektivitas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurutnya, ada perlakuan yang tidak sama di mata hukum dilakukan oleh KPU.

"Ada (calon) bupati yang diloloskan, ada calon bupati yang tidak diloloskan. Ini menyangkut KPU, kredibilitas KPU," tutur Mantan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) itu.

Ketiga, soal status Ahok yang kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Semuanya judulnya 'Angket Pilkada' kalau versi PKB. Isinya tiga. Soal Ahok, KPU dan soal e-KTP," kata Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu).

"Teman-teman inisiator yang lain mengajukan ke saya, saya belum mau tandatangan. Perbaiki dulu. Kami ingin tiga-tiganya di angket," sambung dia.

(Baca: Ahok Kembali Jabat Gubernur DKI, 4 Fraksi DPR Setuju Hak Angket)

Sebelumnya, empat fraksi mengajukan hak angket terkait status Ahok yang kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pengangkatan Ahok dinilai cacat yuridis karena bertentangan dengan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

3. Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Sementara itu, Ahok didakwa Pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama dengan hukuman penjara lima tahun dan empat tahun. Ia saat ini berstatus terdakwa.

Menunggu tuntutan

Mendagri Tjahjo sebelumnya mengatakan, keputusannya belum memberhentikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sesuai aturan, kepala daerah otomatis dihentikan sementara jika tuntutan jaksa penuntut umum di atas lima tahun dan dilakukan penahanan.

"Kasus Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, Ahok, ya Kemendagri menunggu sampai tuntutan resmi jaksa penuntut nantinya di persidangan," ujar Tjahjo melalui keterangan tertulis, Sabtu (11/2/2017).

Namun, jika tuntutannya di bawah lima tahun, Ahok tetap menjabat hingga adanya keputusan berkekuatan hukum tetap. Terlebih lagi, saat ini Ahok tidak dalam posisi sebagai tahanan. Jika nantinya ada keputusan ditahan, Ahok langsung diberhentikan sementara.

Pemberhentian sementara juga langsung dilakukan terhadap kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan korupsi.

"Kasus OTT narkoba juga, begitu ada hasil BNN positif, langsung diberhentikan," kata Tjahjo.

Kemudian, jika hakim menjatuhkan vonis bebas, maka akan dikembalikan dalam jabatannya.

Kompas TV Wacana hak angket digulirkan sejumlah anggota DPR dari sejumlah fraksi untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran undang-undang yang dilakukan pemerintah, ketika mengaktifkan kembali Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Lalu salahkah pemerintah dan perlukah hak angket digalang di DPR? Kompas Malam akan membahasnya dengan anggota Komisi II yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Arif Wibowo, Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Azikin Solthan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Indonesia Kutuk Perusakan Bantuan untuk Palestina oleh Warga Sipil Israel

Indonesia Kutuk Perusakan Bantuan untuk Palestina oleh Warga Sipil Israel

Nasional
Tanggapi Polemik RUU Penyiaran, Gus Imin: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Kutip Omongan Jubir

Tanggapi Polemik RUU Penyiaran, Gus Imin: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Kutip Omongan Jubir

Nasional
KPK Sita Rumah Mewah SYL Seharga Rp 4,5 M di Makassar

KPK Sita Rumah Mewah SYL Seharga Rp 4,5 M di Makassar

Nasional
Sedih Wakil Tersandung Kasus Etik, Ketua KPK: Bukannya Tunjukkan Kerja Pemberantasan Korupsi

Sedih Wakil Tersandung Kasus Etik, Ketua KPK: Bukannya Tunjukkan Kerja Pemberantasan Korupsi

Nasional
Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Nasional
Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Nasional
Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Nasional
Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Nasional
Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Nasional
Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Nasional
Mengganggu Pemerintahan

Mengganggu Pemerintahan

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan kepada 2 Anak SYL, Capai Miliaran Rupiah?

Daftar Aliran Uang Kementan kepada 2 Anak SYL, Capai Miliaran Rupiah?

Nasional
Jokowi Rapat Bahas Aksesi OECD dengan Menko Airlangga dan Sri Mulyani

Jokowi Rapat Bahas Aksesi OECD dengan Menko Airlangga dan Sri Mulyani

Nasional
Korban Banjir Lahar di Sumbar hingga 16 Mei: 67 Orang Meninggal, 20 Warga Hilang

Korban Banjir Lahar di Sumbar hingga 16 Mei: 67 Orang Meninggal, 20 Warga Hilang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com