JAKARTA, KOMPAS.com - Kedatangan helikopter AgustaWestland AW101 (AW 101) berjenis alat angkut berat di hanggar Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, belakangan menjadi polemik di tubuh TNI.
Saat rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (6/2/2017) lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku tidak tahu soal pembelian helikopter buatan Inggris tersebut.
Ryamizard mengatakan, AW101 pada awalnya dipesan untuk helikopter kepresidenan, sehingga ada kemungkinan dibeli melalui Sekretariat Negara.
Gatot juga mengaku tidak tahu soal pembelian helikopter itu. Ia menyinggung adanya Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara yang mengurangi kewenangannya sebagai Panglima TNI.
Direktur Eksekutif Institute for Defence Security dan Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim menilai bahwa ada beberapa hal yang harus dikritisi terkait polemik pembelian AW 101.
Pertama, Mufti mengkritik soal pengakuan Ryamizard dan Gatot yang tidak mengetahui pembelian AW101. Menurut dia, aneh jika keduanya tidak mengetahui pembelian helikopter asal Inggris itu.
(Baca: Menhan dan Panglima TNI Sama-sama Tak Tahu soal Pembelian Heli AW101)
Mufti menjelaskan, mekanisme usulan pengadaan alutsista bersifat bottom-up. Artinya, usulan pengadaan berdasarkan usulan spesifikasi dan kebutuhan dari masing-masing angkatan atau matra.
Dari usulan tersebut pengambilan keputusan berada pada tingkat kementerian, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan dan Kepala Bappenas.
"Usulan kebutuhan alutsista itu berasal dari masing-masing matra ke Kemenhan karena mereka user (pengguna). Tapi soal keputusan pembelian tetap ada di Kemenhan," ujar Mufti saat dihubungi Sabtu (11/2/2017).
"Kewenangan Panglima memang ada di tahap pengusulan. Walaupun mereka juga harus ada komunikasi dan koordinasi," kata dia.
Selain itu Mufti berpendapat bahwa alasan Panglima soal adanya pemangkasan wewenang, tidak relevan.
Gatot protes lantaran rencana pembelian AgustaWestland 101 itu tak diketahuinya, karena ada Permenhan yang memangkas kewenangannya. Dengan kondisi itu, Gatot mengaku sulit mengendalikan penggunaan anggaran TNI.
(Baca: Merasa Akan Diganti, Panglima TNI Buka-bukaan soal Polemik AW101)
Menurut Mufti, tidak ada pemangkasan kewenangan Panglima TNI dalam Permenhan tersebut. Justru, kata Mufti, Permenhan itu mengembalikan kewenangan otoritas kementerian dalam pengadaan alutsista sesuai Undang-Undang Pertahanan.
Mufti mengatakan, setiap usulan spesifikasi dan kebutuhan dari tiap matra karena setiap kepala staf angkatan memiliki fungsi pembinaan kekuatan (Binkuat).
Sementara Panglima TNI memegang fungsi penggunaan kekuatan (Gunkuat). Usulan yang berasal dari masing-masing matra juga seharusnya diketahui oleh Panglima TNI, sebab fungsi administrasi usulan berada di Mabes TNI.
"Dalam Permenhan itu sudah tepat soal pembagian kewenangannya, sesuai dengan porsinya masing-masing. Untuk kasus AW 101 memang harus ada misteri yang harus dijelaskan. Tapi kalau Panglima menyebut gara-gara ada Permenhan, kewenangannya dipangkas, harus ditelisik lagi apa benar gara-gara itu," tutur Mufti.
"Menurut saya aneh kalau Panglima TNI tidak tahu karena yang mengadministrasi semua usulan dari tiap angkatan adalah Mabes TNI. Jadi seharusnya administrasi internal yang dibereskan," ucapnya.
Saat ini TNI AU telah membentuk tim investigasi untuk mendalami mekanisme pembelian dengan menelusuri dokumen.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto pada Rabu (8/2/2017) menyampaikan, tim investigasi internal masih mendalami pembelian helikopter AW 101.
Tim bentukan KSAU ini akan melaporkan hasil investigasinya ke Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI sebelum Hadi, Marsekal Agus Supriatna, pernah menyatakan bahwa TNI AU akan membeli enam unit helikopter AW101. Rinciannya, tiga untuk angkut berat dan tiga unit untuk VVIP.
Namun, Presiden Joko Widodo pada Desember 2015 lalu telah menolak usulan TNI Angkatan Udara terkait pengadaan helikopter tersebut.
Menurut Jokowi, pembelian helikopter VVIP itu terlalu mahal di tengah kondisi ekonomi nasional yang belum sepenuhnya bangkit. Satu tahun berselang, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski pernah mendapat penolakan dari Presiden.
Namun, KSAU menegaskan bahwa helikopter AW101 yang dibeli hanya satu unit. Helikopter itu juga dibeli dengan anggaran TNI AU, bukan Setneg.
(Baca: KSAU Tegaskan Helikopter AW 101 Dibeli TNI AU, Bukan Setneg)